Sorot lampu tepat di atas kepala membuat netra sipit itu beberapa kali mengerjap menyesuaikan. Menatap kosong langit-langit ruangan guna mencerna peristiwa apa yang sebelumnya terjadi hingga harus berakhir di tempat ini. Sebab Bian tersadar, lagi-lagi ia berakhir dilarikan ke rumah sakit.
Netranya melirik kaku sekeliling mencoba mencari presensi orang lain. Nihil, hanya terdapat suara tirai putih yang bergerak ribut terdorong angin. Jendela terbuka dengan celah kecil. Langit terlihat gelap, pertanda akan hujan. Pantas saja badai angin sedang melanda.
Pintu ruang rawat terbuka, Bian dengan cepat menoleh. Andra berjalan menghampiri dengan seorang suster di belakangnya.
"Sudah sadar?" Pertanyaan retoris itu Andra lontarkan ketika sudah berada disebelah ranjang pasiennya lalu dokter itu meraih sebuah suntikan dari nampan besi yang suster bawakan.
Bian hanya memperhatikan gerak-gerik Andra yang bergerak akan menyuntikkan cairan kedalam infusnya. Terlalu malas menjawab pertanyaan Andra yang sudah jelas-jelas terlihat didepan mata.
"Hobi banget bikin jantung gue pindah ke lambung, ya?" Walau respon Bian tampak linglung, berbeda dengan suster disebelah Andra yang justru terkekeh dengan candaan dokter muda tersebut.
"Aku.. kenapa lagi, kak?" Lagi, pertanyaan Andra bagai hilang terbawa badai angin yang masuk melalui celah jendela.
Jujur saja Andra sudah dibuat kesal dengan pasiennya satu ini. Menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Bian. "Aktivitas berat berujung kelelahan, kinerja jantung meningkat dan akhirnya seperti ini. Ya bocah, sudah berapa kali diperingati jangan melakukan aktivitas berat, bahkan lari sekalipun! Tapi kemarin, sok jadi pahlawan. Pikirkan dulu kesehatan sendiri, baru menyelematkan orang lain."
Bian meringis mendengar ocehan dari dokter mudanya tersebut, "aduh kak, aku baru bangun loh ini."
Andra hanya menggeleng, tidak habis pikir dengan keras kepala Bian. Lalu kegiatannya berganti menjadi memeriksa denyut jantung pasiennya itu, dan Andra kembali berbicara.
"Lo butuh istirahat cukup banyak untuk pemulihan, mungkin sampai seminggu." Ujar Andra tangannya beralih mengecek selang infus, sementara suster disebelahnya sibuk menulis penjelasan medis yang Andra katakan kepadanya.
"Seminggu? Sampai besok aja deh kak, ya?"
"Lima hari."
"Kak? Aku juga sekolah—"
"Tiga hari, tidak ada bantahan!"
Bian ingin kembali mengangkat suara untuk menolak namun tatapan tajam Andra berhasil mengunci rapat bibirnya. Bian mengalihkan pandangan, takut lama-lama melihat tatapan kematian Andra.
Suara pintu kamar rawat terdengar terbuka, kemudian di susul suara panik Anilas.
"Bian! Bian!"
Ketiga orang di dalam kamar rawat itu tentu terkejut dengan kehadiran Anilas yang gaduh dan nafasnya terlihat tersenggal. Bian sampai bangun dari posisi berbaringnya mendengar panggilan keras dari Anilas.
"Oh astaga dokter, bagaimana keadaan Bian?" Anilas menumpu tubuhnya dengan kedua tangan di lutut sembari mengatur sirkulasi udara di dalam paru-parunya.
"Cukup baik, dia hanya perlu istirahat selamat tiga hari."
Anilas menghela nafas lega, "Syukurlah, gue khawatir setengah mati." Raut Anilas tercetak jelas peluh dan kerutan di dahinya.
Sebab kehadiran Anilas, Andra memutuskan pamit pergi bersama susternya. Lagipula masih ada pasien yang perlu ia periksa juga. Anilas sempat akan duduk di kursi sebelah ranjang Bian namun mendengar si dokter muda akan keluar, dengan segera Anilas mengajukan diri mengantar keluar ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
Ficción GeneralTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam tiga bulan. Ingin pulang tapi ti...