Bian duduk sendiri di ruang tengah dengan televisi yang menyala menampilkan sebuah acara. Di ruangan yang kini minim pencahayaan sebab sudah larut malam.
Penghuni lain sudah menyelami alam mimpi mereka. Sementara Bian terduduk disana, niatnya ingin menunggu Esa pulang.
Khawatir karna sudah empat hari totalnya ia belum melihat wujud Esa. Tidak mengharap banyak, Benar-benar hanya ingin melihat si wajah kaku Esa.
Bian menguap untuk kesekian kalinya, matanya sudah mengerjap beberapa kali sebab kantuk yang mulai menyerang. Namun tubuhnya menolak untuk tidur.
Bian paksakan duduk dan menonton televisi. Tetap teguh pendiriannya untuk menunggu Esa pulang.
Pukul duabelas kurang limabelas menit, netra Bian yang sempat terpejam dengan segera terbuka ketika mendengar suara pintu terbuka.
Bian menoleh ke arah pintu, Tapi yang muncul dari balik sana bukanlah Esa yang ia tunggu. Disana ada Danes yang berjalan tertatih memasuki rumah.
Bian masih belum menghampiri Danes yang nyatanya tengah kesulitan untuk berjalan. Netra Bian masih mengamati Danes, Hingga pemuda tertatih itu ingin melewati Bian di ruang tengah barulah Bian mendekat.
Danes menghempas begitu saja tangan Bian yang akan bertengger pada tangannya.
"Gue bisa jalan sendiri," Suara Danes terdengar ketus dan dingin masuk ke telinga Bian, pemuda bertubuh kecil itu mengurungkan niatnya untuk memapah.
Bian diam kembali, memandang punggung Danes yang perlahan menjauh. Belum sempat menaiki anak tangga pertama, Danes lebih dulu terjatuh sembari meringis membuat Bian dengan cepat menghampiri.
"Aku mau bantu tapi ditolak, gini kan jadinya," Ujar Bian namun tidak terdengar gurat ketus seperti ucapannya.
Danes juga tidak menolak setelahnya, pasrah dengan Bian yang membantu memapahnya hingga kamar Danes.
Dengan perlahan Bian papah tubuh lebih besar Danes, sesekali melirik pada wajah pemuda itu yang terlihat kesakitan. Sesampainya di kamar Danes, Bian dengan perlahan mendudukkan si pemilik kamar pada ranjang.
"Tunggu sebentar, jangan terlalu banyak bergerak." Setelahnya Bian pergi keluar dari kamar, Danes hanya memperhatikan tubuh kecil itu yang menghilang dari balik pintu kemudian menghela napas dengan kondisinya yang buruk.
Pulang dengan keadaan babak belur, sungguh tidak keren sekali Danes. Lebam di wajah dan entah luka apa yang ada di kakinya hingga menciptakan perih yang menyiksa.
Kurang dari tiga menit, Bian sudah masuk kembali ke kamar Danes dengan sebuah kotak obat dan handuk ditangannya.
Danes hanya diam atas perlakuan Bian yang dengan pelan membuka sepatunya lalu menggulung sedikit celana panjang Danes sebatas dengkul yang memperlihatkan luka sepanjang jari manis orang dewasa dengan darah yang sudah mengering dibetis.
Danes meringis ketika lukanya terkena celana yang Bian gulung. Pemuda tersebut lagi-lagi hanya mengamati apa yang Bian lakukan.
Bian berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar Danes dengan handuk ditangannya yang sebelumnya ia bawa dari luar kamar.
Kemudian Bian kembali, jalannya terburu-buru sembari membawa handuk yang sudah dibasahi.
"Tahan sakitnya," Pinta Bian yang perlahan membasuh luka tersebut, Sementara Danes melakukan apa yang diperintahkan dengan menutup rapat bibirnya.
Tentu saja tanpa Bian katakan, Danes akan menahan ringisannya. Terlalu malu untuk bersuara dihadapan Bian, si saudara yang dari dulu Danes tidak begitu sukai.

KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
Fiction généraleTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam tiga bulan. Ingin pulang tapi ti...