Kepingan [15]

235 18 10
                                    

Pintu ruang rawat inap milik Adma didorong pelan oleh Esa, disambut dengan minimnya cahaya lampu di ruangan tersebut.

Berjalan masuk kedalam ruangan, Esa tidak menemukan presensi siapapun selain Adma yang tengah terbaring di ranjangnya. Dari kejauhan Adma terlihat tidak sedang tertidur, melainkan matanya terbuka sayu menatap jendela kamar yang ramai dengan lampu lampu jalan menerangi malam.

Bunyi decitan kursi yang Esa tarik mendekat ke sebelah ranjang sukses membuat Adma menoleh. Dengan gerakan cepat Adma bangkit dan mendudukkan dirinya.

"Jangan tiba-tiba gerak gitu, nanti keram." Esa menekan tombol dibalik ranjang guna mengubah posisi, menaikkan bagian sandaran ranjang agar Adma bisa bersandar nyaman. Kini Adma duduk bersandar sedikit condong ke arah Esa, menaruh perhatian besar pada presensi si sulung.

"Bian gimana keadaannya?" Esa mengerutkan keningnya menatap dua kelereng hitam milik Adma yang terlihat polos. Pertanyaan Adma tiba-tiba sekali dan terlalu menodong.

"Ya gitu, mau gimana?" Singkat Esa sembari mengeluarkan sebuah laptop dari tas punggung yang ia bawa dari rumah kemudian ditaruhnya benda tersebut beralaskan bagian kosong ranjang Adma dan menghidupkannya.

"Serius bang, ga lo apa-apain kan dia?"

"Bang Nilas sama Aray mana?" Bukannya menjawab tanya milik Adma, si sulung Haidar justru mengalihkan topik yang membuat Adma menghela napas panjang.

"Jangan alihin topik."

"Ngalihin apa, gue cuma nanya itu dua orang kemana. Katanya mau jagain lo, ini taunya ditinggal"

Tanpa menatap wajah Adma yang menuntut jawaban. Esa terlihat fokus dengan laptopnya yang kini terpampang tugas yang sebentar lagi akan mendekati deadline.

"Aray lagi cari makan, bang Nilas pulang." Adma mengubah posisi duduk bersandarnya menatap langit-langit kamar, ketertarikan mengobrol dengan Esa hilang begitu saja setelah mendapat respon cuek.

Jari Esa terpaku di atas keyboard laptop mendengar jawaban Adma. Anilas pulang? Sewaktu di rumah Kasa tadi ia tidak bertemu dengan yang tertua. Terlebih lagi, Esa takut jika ada yang mendengar pertengkarannya dengan Bian.

"Gue ga ketemu dia perasaan" Ujar Esa menyembulkan kepalanya dari balik laptop. Adma melirik sekilas lalu menatap kembali langit-langit.

"Yang bilang pulangnya ke rumah Kasa, siapa?" Esa melongo, tangannya menunjuk Adma seolah mengatakan pemuda itu pelakunya.

"Gue ngomongnya pulang aja, biasain lagi buat membedakan pulang ke rumah sama pulang ke rumah Kasa." Ledek Adma diakhir kalimatnya, menimbulkan senyum tipis di bibir pucatnya. Esa hanya bergumam mengiyakan lalu menghela napas lega sembari menarik kembali fokus pada tugasnya.

"Lo masih ga terima kejadian dulu, bang?" Suara Adma terdengar tenang mengisi seluruh ruangan yang tampaknya tidak mengusik kesibukan Esa.

Dengan tangan yang masih bergerak di atas keyboard Esa hanya menjawab seperlunya. Selain dikejar deadline tugas, Esa terlalu muak membicarakan hal ini.

"Ga usah ungkit lagi."

"Mau sepuluh tahun, gue merasa berlebihan buat bertindak sejauh ini. Bian juga perlu kita, sama halnya kaya gue butuh lo. Sebagai seorang kakak dan teman cerita." Adma menatap dalam langit-langit kamar rawatnya, tak mengetahui bagaimana Esa yang melihatnya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.

"Masalahnya lebih dari itu, lo ga akan paham." Adma menoleh melihat Esa yang bangkit membenahi laptop dan tas punggungnya.

"Masalah apa lagi? Udah gue jelasin berkali-kali kalau kejadian waktu itu cuma kesalahpahaman. Seiring waktu gue jadi tau alasan Bian yang tiba-tiba dateng lari ke gue hari itu. Gue yang salah langsung curiga ke Bian dengan hal yang engga-engga" Ungkap Adma, seluruh keresahannya ingin ia coba keluarkan dan suarakan dihadapan Esa agar si sulung mampu membuka setidaknya sedikit pintu hatinya untuk si bungsu.

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang