Kepingan [13]

165 23 9
                                    

Berapa kali saya bilang? Lupakan mimpi dokter mu itu, Adma!

Mau diapakan sekarang prestasi dari ilmiah dan sains yang menumpuk dikamarmu?

Memangnya berguna untuk bisnis saya, Adma?

Saya ga butuh medali perak mu itu!

Jangan memberontak lagi,

Ini terakhir kali saya peringatkan kamu, Adma!

Adma melangkah pelan tidak berminat untuk kembali ke rumah sakit setelah kakinya berjalan jauh membawanya tak tentu arah.

Nafasnya tercekat kala mendengar rentetan tembakan dari lisan sang ayah. Tidak menyangka impiannya sekali lagi ditolak mentah-mentah oleh Haidar. Pria paruh baya itu sama sekali tidak memberikan Adma kesempatan untuk bermimpi.

Kaki Adma berhenti di tengah hiruk-pikuk pejalan kaki. Suara bising sekitarnya bahkan teredam, kalah dengan suara-suara Haidar yang mengisi penuh kepalanya. Adma tidak menghiraukan tatapan para pejalan kaki yang menatapnya mulai dari iba hingga kesal sebab raut kosong menyedihkan dan posisi Adma yang berada ditengah trotoar.

Adma meraung dengan bisingnya suara Haidar yang membuat kepalanya seakan ingin pecah. Adma total mengalihkan perhatian seluruh pejalan kaki yang lewat. Pemuda itu perlahan tersadar, menatap gusar pandangan orang-orang. Pandangan yang menunjukkan ekspresi yang berbeda, emosi yang berbeda dan bercampur dengan suara tegas Haidar yang membentaknya tadi di panggilan, semakin membuat kepala Adma pening bukan main.

Pusing, mual, dan sesak menyerang Adma saat ini juga. Adma cemas, takut dengan bisikan orang-orang yang bersahutan. Jantungnya berdetak cepat merespon takut yang Adma rasakan.

Kaki Adma kembali ia bawa pergi dari tempatnya, berlari meninggalkan kerumunan orang-orang yang mulai membuatnya gila. Sekali lagi membiarkan kakinya membawa tubuh itu ke arah yang tidak tentu. Melupakan lampu lalu lintas untuk pejalan kaki yang baru saja berganti merah.

Adma berlari menerobos, disusul pekikan orang-orang yang semakin menambah peningnya. Pandangan Adma buram melihat sekeliling yang tengah menatap kearahnya. Seolah-olah satu dunia ingin ikut mencemooh Adma seperti yang dilakukan sang Ayah kepadanya. Kakinya terpaku ditengah jalan. Kepalanya menunduk merasakan pening kembali menyengat kepalanya.

Sorot lampu sebuah truk mengalihkan pandangan Adma. Pemuda itu mendongak, menatap kosong cahaya yang semakin dekat.

Jauh di dalam benaknya, Adma tengah hancur dan kosong. Memerintahkan kakinya untuk tetap ditempatnya. Agar cahaya di depan sana bisa Adma peluk dengan harapan semua yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk seorang Padmana.

Cahaya putih itu semakin dekat, semakin menghantarkan hangat yang tubuh Adma rasakan. Terang sekali cahayanya sampai-sampai Adma memejam tenang dengan senyum tipisnya, menanti cahaya itu memeluk tubuh lelahnya.

Adma tak bergerak sedikitpun, merasakan raganya yang terasa berat dan lelah.

Hingga pekikan orang-orang sekitar beserta sebuah tarikan kencang di pinggangnya berhasil menyadarkan Adma dari pejamnya. Adma terjatuh ke arah trotoar, merasakan hangat yang ia pikir berasal dari cahaya putih tadi.

Namun, ketika pandangan Adma yang kabur perlahan mulai jelas.
Adma jumpai tangan Bian yang mendekap tubuhnya. Menyalurkan rasa hangat yang menenangkan hati Adma.

Bian bangkit, menarik pelan tangannya sekaligus bahu Adma untuk duduk. Sebab tangan Bian kini berada di pinggang dan sekitar kepala Adma guna melindungi kakaknya itu dari benturan ketika terjatuh.

Adma menatap linglung wajah khawatir Bian. Sementara Bian mengecek satu persatu wajah, tangan, dan kaki Adma. Melihat apakah ada luka serius. Bian menatap bola mata Adma yang bergetar, berseru memanggil-manggil nama kakaknya agar tersadar.

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang