*disclaimer: penyakit yang author sertakan disini merupakan hasil riset melalui internet, mohon maaf apabila terdapat kekeliruan.
"Bang, gue angkat panggilan dari ayah dulu ya. Bilang Bian gue nunggu di mobil." Adma bangkit, Andra mendongak dari fokusnya pada lembar kesehatan.
"Oke siap!" Mendapat tanggapan dari Andra, dengan segera si anak tengah dari Haidar itu bergegas keluar sembari mengusap layar ponselnya menyambungkan panggilan.
Suara sapaan Adma untuk seseorang diseberang sana teredam ketika punggung pemuda itu sudah seutuhnya keluar dari ruangan. Meninggalkan Andra yang kembali mengerjakan lembar kesehatan pasiennya.
Setelah lamanya waktu berlalu sedari Adma pergi keluar, Akhirnya Bian kembali masih dengan semangatnya.
"Eh, kak Adma kemana?" Tanya Bian ketika pintu sudah ia buka kemudian bocah itu berjalan mendekat dan duduk di depan meja Andra.
"Keluar, angkat panggilan telepon. Sepertinya penting, dari ayah kalian." Andra kembali fokus mengisi lembar-lembar kertas setelah menoleh akan kedatangan Bian dan mengidikkan bahu tidak tahu.
"Ayah?" Andra mengangguk, sementara Bian mengernyit heran lalu terlonjak ketika tersadar.
Dengan cepat Bian bangkit dan bergerak ke arah pintu, Andra bahkan dibuat terkejut dengan tindakan tiba-tiba pasiennya itu.
"Mau kemana?!"
"Menyusul kak Adma!" Andra yang mendengar ingin sekali menghentikan langkah Bian namun saat bocah itu membuka pintu, Suster yang membawakan hasil pemeriksaan Bian juga hendak memasuki ruangan Andra untuk memberikan lembar kertas kesehatan Bian.
Sehingga niat Andra hilang ketika punggung Bian sudah menjauh seutuhnya diujung belokan. Andra menghelas nafas panjang kemudian meraih lembar yang suster itu ulurkan.
"Terimakasih sus." Suster itu mengangguk dan beranjak keluar dari ruangan Andra.
Jari-jari Andra membawa kertas tersebut untuk ia baca. Dengan seksama Andra baca baik-baik hasil dari pemeriksaan Bian. Andra memijit pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa seperti dipukul batu yang besar. Pusing menyerang setelah selesai memahami bacaan medis yang tertera disana.
Vaskulitis-—Peradangan pada bagian pembuluh darah Bian dinyatakan semakin membengkak dari tahun-tahun sebelumnya.
Andra sekali lagi mengeluarkan nafas lelahnya. Rasa takut kembali hinggap menyelimuti benak dokter muda itu. Andra tidak mau merasakan kembali ketakutan yang menggerogoti dirinya setengah mati.
Tubuh Bian yang diketahui memiliki autoimun menyebabkan ia terserang peradangan tersebut. Parahnya pembengkakan yang tercipta berimbas pada alat pemompa darah ke seluruh tubuh milik bocah itu. Jantung—Organ paling fatal jika rusak sedikit saja.
Diumur Bian yang ke-enam tahun, ia sudah menjalani operasi cukup besar bagi jantungnya guna melancarkan arteri yang tersumbat. Masih terlalu muda, namun keadaan saat itu benar-benar mendesak.
Benturan keras yang menabrak dada kiri bocah itu akhirnya semakin memperparah penyakit Bian. Hauri terpontang-panting tiba di rumah sakit tempo lalu, menyusul Haidar yang tengah terduduk menunduk di kursi tunggu depan ruang operasi.
Andra yang kala itu masih duduk di kelas tiga sma, memperhatikan kedua orang dewasa yang ia tangkap berstatus sebagai orang tua pasien yang tengah berjuang di dalam sana.
Andra berniat akan pergi ke ruangan sang ayah untuk memberikan berkas yang tertinggal dan sekotak bekal buatan bundanya. Tak disangka pemuda itu justru diperlihatkan suasana mencekam ketika melewati lorong yang mengarah ke ruang operasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
OBLIVION
Ficción GeneralTujuh kepala yang tinggal di dalam satu atap, saudara satu kakek tapi asing satu sama lain. Bagaimana mau hidup bersama jika terus saling tidak peduli? Rumah perlahan-lahan menjadi sesuatu yang memuakkan hanya dalam tiga bulan. Ingin pulang tapi ti...