Kepingan [14]

319 32 10
                                        

Kini ke-empat penghuni rumah Kasa sudah tiba di rumah. Atas paksaan pemuda yang lebih tua agar yang lebih muda mengistirahatkan diri mereka di rumah. Biar yang menjaga Adma cukup tiga orang saja.

Danes sempat menolak—sebagaimana hubungan Danes dengan Adma yang cukup dekat. Maka pemuda itu masih mengkhawatirkan kondisi Adma.

Namun tetap saja Bian, Danes, dan Iel berakhir menuruti perintah Anilas. Kemudian, Aray yang pertama kali menawarkan untuk mengantar ketiganya. Lagi-lagi hal itu dibantah, Esa dengan cepat menyela tawaran Aray dan lebih dulu mengatakan bahwa Esa lah yang akan mengantar.

Esa beranjak keluar dari ruang rawat Adma lebih dulu meninggalkan pemuda lainnya yang masih mencerna suasana canggung setelah ajuan Esa.

Disusul Iel yang mengekori dibelakang, Danes yang berjalan dengan kaki dihentakan keras-keras pada ubin lantai dan Bian yang menyusul di paling belakang setelah berpamitan dengan Anilas, Aray, serta Adma yang masih terbaring di ranjang pesakitan.

Esa mengendari mobil dengan kecepatan sedang sebab kepadatan jalan raya yang kini memasuki jam pulang kerja. Seisi jalanan dipenuhi oleh kendaraan yang mengantar pulang orang-orang kelelahan dengan pekerjaan mereka.

Danes bersyukur, radio mobil sudah dinyalakan Iel sebelumnya. Maka kini hening yang selalu hinggap di dalam mobil milik Esa—lenyap dengan lagu-lagu yang bersilih ganti.

Esa duduk di bangku pengemudi sembari mengetuk-ngetuk jarinya pada kemudi, disebelahnya ada Iel yang sudah tertidur pulas sebab perjalanan ke rumah yang menyita banyak waktu tidak seperti biasanya.

Sementara Danes dan Bian duduk di kursi belakang. Danes yang sibuk dengan ponselnya, sesekali bersenandung mengikuti lagu yang mengalun berasal dari radio. Berbeda dengan Bian yang sedari tadi hanya memandangi padatnya jalanan kota dari balik kaca mobil.

Tak dapat dipungkiri tanpa ada yang mengetahui pula, Bian tengah mati-matian menahan desakan sakit di dadanya. Sejak sore tadi—Peristiwa yang menyebabkan Adma masuk rumah sakit. Bian sudah merasakan sesak seperti dadanya ditekan kuat-kuat.

Kinerja jantungnya seolah dipaksa lebih banyak bekerja dari biasanya, mengingat tadi sore Bian berlarian mencari keberadaan Adma yang hampir saja berakhir mengenaskan di atas aspal hitam pekat.

Bian membuang nafas pendek berulang kali berusaha mengatur sesak yang menghinggap di rongga dadanya. Setiap tarikan nafas rasanya seperti tercekik keras. Bian memejamkan matanya masih mencoba mengenyah rasa sakit meski perlahan-lahan berangsur hilang bersamaan dengan mobil yang dikendarai Esa mulai mendekati gerbang rumah Kasa.

Setelah memarkirkan kendaraan roda empat kesayangannya, Esa beralih membangunkan remaja disebelahnya. Menepuk pelan bahu Iel hingga kedua manik bola bocah itu mengerjap berhasil terbangun.

"Udah sampai, Ayo masuk! Pindah ke kamar tidurnya." Iel mengusap matanya guna menormalkan pandangan yang buram sebab masih terserang kantuk lalu anak itu mengangguk kecil, terlihat lucu sekali.

Dibelakang sana, Danes dan Bian lebih dulu keluar dari mobil. Keduanya memasuki rumah Kasa dengan Danes yang berjalan memimpin di depan. Di ikuti Iel yang didekap Esa erat karena mengeluh masih mengantuk.

Kemudian Esa bawa bocah itu masuk ke kamar. Merebahkannya pada ranjang berwarna biru tua serupa dengan kesukaannya. Hal yang sangat Iel gemari ialah si ruang hampa— yang kita kenal dengan sebutan luar angkasa.

Esa menarik selimut hingga sebatas bahu Iel. Mengusap surai kecokelatan milik bocah yang sudah mulai tenggelam dalam mimpi itu, lalu Esa mematikan lampu dan beranjak pergi dari kamar tersebut.

Selepas menutup pintu kamar Iel. Sulung dari Haidar itu melangkah mengikis jarak kehadapan pintu ruangan lain. Esa mengetuk dengan gestur tegas hingga penghuninya membuka pintu dan memunculkan tubuh kecil Bian dibalik sana.

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang