Kepingan [4]

148 22 1
                                    

Pukul lima sore Adma memasuki rumah megah yang sudah seminggu tidak ia datangi. Hari ini tepatnya Adma akhirnya kembali menginjakkan kaki pada ubin cokelat rumah tersebut.

Sang ayah— Haidar kemarin malam menghubungi Adma untuk pulang ke rumah sebab ada keperluan penting, entah apa Adma juga belum tahu.

Maka lekas pulang dari sekolah ternyata Adma sudah di tunggu oleh supir pribadi Haidar, paman Heru. Dari Adma masih berumur lima tahun, Heru sudah bekerja pada Haidar.

Tak aneh ketika Adma melihat perawakan punggung pria tersebut dari kejauhan dan langsung bisa mengenalinya. Lalu Heru mengantarnya sampai rumah dengan selamat.

Adma berjalan setelah menutup pintu utama lalu kembali melangkah berniat menuju kamarnya namun suara dentingan sendok yang bertemu dengan piring membuat langkah Adma berbelok ke ruang makan.

"Ga kuliah, bang?" Adma menemukan Esa di meja makan tengah duduk sendiri menghabiskan makanannya sembari memainkan ponsel.

Esa menoleh sedikit terkejut dengan kedatangan Adma yang tiba-tiba,
"Udah kelar dari jam dua," Esa melanjutkan kembali suapannya setelah menjawab tanya Adma.

Adma hanya mengangguk menanggapi jawaban Esa kemudian ikut duduk, menarik kursi di hadapan Esa lalu meraih gelas dan menuangkan air.

Kering sekali tenggorokan Adma dari tadi siang belum ia alirkan air sedikit pun sebab terlalu larut dalam belajar untuk lomba sains nya minggu depan.

"Ngapain lo pulang?" Esa kembali membuka suara, Adma yang tengah meneguk airnya sontak melirik sekilas.

"Ayah yang suruh, katanya ada keperluan," Usai menuntaskan hausnya, Adma hanya memandang Esa yang sedang makan.

Esa tak menghiraukan hanya terus menyuap dan mengunyah serta memainkan ponselnya.

"Lo, kenapa ga pulang?" Pertanyaan Adma sukses menghentikan kunyahan pemuda lebih tua tersebut.

Esa terkekeh melanjutkan kunyahannya lalu baru berbicara,
"Tumben nyariin gue," Adma merotasikan bola matanya jengah mendengar balasan Esa.

"Yakin banget gue yang nyari, lupa lo sama si Prama?"

Prama– sebutan keduanya jika membahas bungsu keluarga Haidar. Bian Prama Darmawara, tepatnya. Mereka enggan untuk menyebut nama depan dari adik mereka itu.

Esa yang memberikan panggilan Prama karena ketidaksukaan dirinya pada Bian yang sudah memupuk hingga benci untuk menyebut nama Bian sekalipun. Terpaksa juga ia sebut Prama-prama itu.

"Biarin aja, ngapain lo mikirin dia? Dia aja ga mikirin lo." Ucapan Esa diam-diam Adma setujui namun entah kenapa ada perasaan tersengat di hatinya mendengar nada ketus Esa perihal Bian.

Adma tidak membalas lagi ucapan Esa, ia justru bertanya hal lain untuk mengubah topik obrolan mereka.

"Ayah ada?" Tanya Adma sembari melihat sekeliling,
"Ada, di ruang kerja." Adma berdiri setelah mendapat jawaban lalu beranjak meninggalkan ruang makan menuju ruang kerja Haidar.

____


Haidar menoleh dari fokusnya terhadap laptop kerjanya ketika mendengar suara ketukan pada pintu ruangannya. Sedikit berteriak menjawab ketukan tersebut untuk masuk. Lalu kepala Adma menyembul dari luar pintu kemudian melangkah masuk.

"Ayah ada perlu apa?" Tidak ingin basa basi, Adma langsung menodong Haidar dengan isi kepalanya sedari kemarin.

Haidar menghentikan kesibukan tangannya yang tengah mengetik lalu berjalan menghampiri Adma yang masih berdiri di dekat pintu.

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang