Kepingan [8]

206 24 0
                                    

Esa mati-matian menahan desakan amarahnya yang kini kian menggerogoti batinnya mendengar ocehan si brengsek pelaku pengeroyokan Danes kemarin.

Esa pikir dengan semua bukti yang ia dapatkan dari dini hari sudah lebih dari cukup untuk menjebloskan Regan ke dalam sel.

Namun nyatanya polisi masih menolak menyetujui tuntutan yang Esa berikan pada Regan. Bukti camera cctv katanya belum memenuhi, bisa saja di manipulasi. Begitu juga dengan saksi mata, sebab saat itu pemukiman warga sedang sepi-sepinya.

Terlebih hanya Bian yang sedari tadi menghabiskan tenaganya untuk menceritakan kejadian kemarin. Berulang kali Bian ceritakan untuk menyakinkan pihak berwajib.

Tapi tampang pak polisi yang tegas serta gelengan kepala tanda tuntutan yang dilayangkan masih belum terbukti benar. Total membuat Bian, Esa bahkan Andra—yang minta ingin ikut terlibat—saling menyahut ribut tak terima. Khususnya Esa.

Esa benar-benar habis kesabaran setiap si brengsek Regan mengucapkan kata-kata pembelaan diri yang lebih ke pembualan semata. Ingin rasanya Esa colok mata pemuda tersebut.

Andra yang berdiri tepat dibelakang Bian meraih pundak kecil tersebut, mengusapnya untuk menyalurkan kesabaran agar tetap tenang dan tak terbawa emosi seperti Esa yang duduk di sebelahnya. Sebab emosi dan stres berlebih tidak baik untuk kondisi Bian yang masih lemah akhir-akhir ini.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Andra juga sedari tadi sudah menghela nafas kasar setiap mendengar rengekan dari Regan yang tak terima diberi tuntutan yang katanya palsu.

Orang gila, batin Andra semenjak Regan mengucapkan pembelaan dirinya untuk pertama kali setelah melihat bukti-bukti yang Esa bawa.

Sudah jelas banyak bukti yang mengarahkannya bahwa Regan pelaku kriminal yang mengeroyok Danes. Tapi pemuda brengsek itu tetap saja mencoba menghasut si pria paruh baya yang bertugas sebagai polisi di hadapannya kini.

"Pak, bukti dan saksi sekali lagi saya katakan sudah jelas dan terbukti bahwa Regan memang pelaku! Mau bapak tolak bagaimana lagi? Bapak kurang uang untuk memproses orang brengsek itu?"

Bian menoleh cepat dan dengan reflek menggenggam lengan Esa sebab sudah berkata melewati batas pada pihak berwajib. Bisa-bisa justru Esa yang ditahan disini.

Entah sebab emosi yang menyelimuti Esa sampai pemuda itu tidak sadar dengan tangan Bian yang mengusap lengannya guna menenangkan Esa.

"Tolong bicara yang sopan saudara Esa! Saya disini harus membuat keputusan yang adil untuk kedua belah pihak, bukan langsung memihak pihak satunya sebab disuap! Bukti yang anda berikan sudah saya katanya belum cukup, bahkan korban tidak bisa bersaksi langsung di depan saya untuk memperkuat tuntutan kalian. Saya tidak bisa langsung menjebloskan saudara Regan tanpa kesaksian korban!"

Tatapan polisi itu menatap tajam tatapan Esa yang berapi-api. Sudah tertebak jika pria paruh baya itu akhirnya ikut tersulut emosi dengan suasana. Terdengar dari nada suaranya yang tegas dan ditekankan.

"Bapak itu polisi bukan hakim!"

Esa mendengus, membuang pandangannya ke arah lain. Muak bersitatap dengan pak polisi keras kepala itu. Pandangan Esa justru menemukan Regan yang sedang tersenyum miring merasa menang.

Jari-jari Esa terkepal kuat melihat wajah tengil Regan. Bian sadar akan hal itu, maka sekali lagi tangannya kembali mengusap lengan Esa agar tidak semakin terbawa emosi.

"Jika korban tidak bisa bersaksi secara langsung, maka saya katakan tuntutan yang saudara Esa berikan tidak berdasar dan akan saya to-"

"Saya mau bersaksi!" Suara di ambang pintu ruangan sukses mengalihkan seluruh atensi kelima orang yang sedang berseteru.

OBLIVIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang