14

239 5 0
                                    

"Umi masak nasi goreng, geulis." Ucap umiku walau masih fokus kepada masakannya.

"Ada yang bisa Zira bantuin gak nih, mi?" Ucapku sambil nyemil sosis yang sudah terpotong rapi.

"Gak usah. Udah duduk aja di meja sebentar lagi jadi, geulis." Ucap umi sambil menyomot sedikit nasi goreng buatannya untuku.

"Enak gak? Kurang apa?" Tanya umi setelah berhasil menyuapiku.

"Emmmmm enak, Mii. Enak, gak kurang apa-apa, pass." Jawabku girang.

Setelah semua siap, kami berbincang berdua. Mulai dari cerita sinetron yang biasa umi tonton sampai keingintahuan umi tentang aku dengan sosok Amer ini. Lalu, aku bercerita mulai dari kelas follow-follow-an instagram dan tentang diskusi-diskusi kami tentang banyak hal.

Umi pun bercerita bagaimana perasaannya saat detik-detik ditelpon sama Amer. Bagaimana senangnya umi jika memang benar akan seperti itu.

"Zira, umi udah tua. Kamu putri terakhir umi yang belum nikah, umi mah takut sayang, kamu perempuan di zaman sekarang. Serem-serem semua pergaulannya. Umi mau kamu terjaga dari hal itu, namun tetap kuliah di lanjut karena pendidikan juga penting. Umi selalu mendoakan yang terbaik buat Zira." Ucap umi dan disambut dengan harus dengan air mata yang menetes singkat di pipiku.

"Umi tenang aja, terus do'ain Zira ya, mi. Umi satu-satunya jalan surga Zira sekarang. Zira cuma butuh tidak umi untuk bisa dapet rida Allah, jadi terus ridain Zira ya Mi." Ucapku sambil memeluk singkat umi dan menyentuh punggung tangannya yang putih bening walau sudah terlihat keriput di tangannya. Tapi itu tetaplah tangan terindah di hidupku, benar-benar cantik.

~~~

Burung gereja beterbangan di depan rumah ditambah wewangian khas Arab menyeruak ke dalam rumah. Aku keluar duduk di sebelah bangku kayu di depan rumah sambil menatap langit yang masih cerah, namun sedikit tertutup dengan awan Abu-abu. Aku tutup mata untuk lebih merasakan suara-suara angin dan kicauan kecil burung-burung gereja yang sangat ramai di sore hari "lega sekali." Gumamku dalam hati.

"Zira, lagi ngapain?" Tanya seseorang yang belum kubuka mata pun, aku sudah mengenali suaranya. Ya, kak Bela.

"Lagi meditasi, kak." Jawaban tanpa membuka mata. Lalu, aku rasakan kak Bela duduk disebelahku dengan adanya subu hangat di kulitku yang tadinya sangat sejuk.

"Zir, kakak sebenarnya bukan gak mau kamu nikah. Kakak cuma belum siap kamu diambil orang, waktu-waktu kita bareng memang gak banyak, kita waktu kecil kepisah-pisah, baru kakak rasain hangat dengan adanya kalian semua di sisi kakak." Ucap kak Bela dengan nada suara sedikit gemetar menahan nangis.

"Kakak cuma takut kanu jauh dari kakak, tapi itu kembali ke Zira lagi, jika memang kamu mencintai dan kamu bisa bahagia, kaka dan a Sihab ikut bahagia." Tambah kak Bela lagi seraya menepuk punggung tanganku lembut.

Tak tahan dengan air mata yang masih menutup dan terurai air mataku. Aku peluk tubuh tegap kakak perempuanku itu, sosok kakak yang kuat, yang memelukku saat aku hilang arah, yang membimbing aku untuk menemukan jalanku lagi.

"Kak, ke mana pun Zira pergi, kakak itu rumah untuk Zira pulang, Jadi jangan takut Zira hilang yah." Ucapku masih sambil memeluknya.

"Kamu harus bahagia ya, Zir. Harus bahagia, kejar bahagia kamu, jika menikahinya memang membuat kamu bahagia, kakak ijinkan kamu nikah." Ucap kak Bela lagi dengan melepas pelukannya dan menatapku, seolah mempertegas kalau aku harus bahagia dengan pilihanku.

Sore yang meranum menjadi malam menjadi sangat sejuk.  "Aku pasti bahagia, kak. Kakak tenang aja ya." Ucapku yakin.

Segini aja dulu ya.
Babayy💅

172 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang