Pelan Tapi Pasti

6.4K 301 1
                                    

Satu bulan sudah Lian dan Salsa menjalani kehidupan rumah tangga. Hubungan mereka semakin dekat, penuh kehangatan dan kenyamanan. Kini mereka lebih leluasa mengekspresikan perasaan satu sama lain. Manja, perhatian, bahkan tak ada satu haripun tanpa komunikasi.

Namun, satu hal yang belum mereka lewati adalah urusan nafkah batin. Lian, meski memiliki hak, memilih menunggu dengan sabar. Ia tahu Salsa belum benar-benar siap, dan ia tak ingin memaksa. Ia hanya ingin cinta mereka tumbuh dengan alami, dengan rasa saling percaya dan ikhlas.

Kadang, Lian harus menahan diri saat melihat Salsa keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Tak bisa dipungkiri, ia tetaplah pria biasa yang memiliki nafsu.

Sementara itu, di hati kecil Salsa, benih-benih cinta mulai tumbuh perlahan. Ia mulai menyayangi Lian lebih dari sekadar rasa hormat atau tanggung jawab sebagai istri. Hanya saja, ia masih menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar membuka hatinya dan menyatakannya.

Pagi itu, mereka baru saja selesai sarapan. Lian sudah siap berangkat ke kantor, saat tiba-tiba Salsa membuka percakapan dengan suara pelan.

"Lian, aku mau minta izin... boleh?" ucapnya sambil memperhatikan suaminya yang sedang mengenakan jas.

Lian menoleh, tersenyum hangat. "Mau izin apa, sayang?"

"Eum... kemarin ada satu manajemen yang nawarin aku buat jadi model. Katanya wajah aku cocok buat campaign mereka," kata Salsa, sedikit gugup.

Lian mengangkat alis. "Terus, sayang?"

"Apa aku boleh gabung ke manajemen itu? Kalau kamu nggak izinin juga nggak apa-apa. Tapi aku harap kamu kasih izin... soalnya itu cita-cita aku dari dulu. Dan ini juga bukan manajemen biasa," jelas Salsa, penuh harap.

Lian mendekat dan duduk di hadapannya. "Aku boleh tahu nama manajemennya?"

"Kalau nggak salah, PT Mentari Artistry Agency," jawab Salsa.

"Kamu bener-bener pengin, ya?" tanya Lian, menatapnya lekat-lekat.

Salsa mengangguk. "Iya, Li. Jadi model itu mimpi aku dari lama. Tapi aku ngerti kok, kalau kamu nggak ngebolehin gapapa..."

Lian terdiam sejenak, lalu menarik napas pelan. "Sebenernya, aku nggak terlalu pengen kamu kerja. Bukan karena larangan, tapi karena aku gamau nggak capek. Tapi... aku juga nggak mau jadi suami egois. Kalau itu cita-cita kamu, aku izinin."

"Serius?" Mata Salsa membesar, bibirnya mengembang membentuk senyum penuh semangat.

"Serius, sayang. Nanti aku bantu cari manager yang bisa jagain kamu juga, biar kamu aman," ujar Lian.

Salsa langsung memeluk suaminya erat. "Makasih, Lian... makasih banyak..."

Lian membalas pelukan itu, lalu menatapnya penuh kasih. "Tapi inget ya... jangan lupa sama tugas kamu sebagai istri. Jangan terlalu kecapean. Jaga diri, jaga kesehatan. Kalau kamu kuat, kerjain. Tapi kalau badan kamu bilang ‘nggak sanggup’, jangan dipaksain. Aku nggak mau kamu sakit."

"Iya, Lian... aku janji akan jaga semuanya," jawab Salsa lembut.

Lian tersenyum, mengecup kening istrinya. "Aku percaya kamu bisa."

Lian melirik jam tangannya, lalu melepaskan pelukannya dengan lembut dan mengambil tas kerjanya. Ia menatap istrinya.

"Kalau gitu, aku berangkat kerja dulu, ya..." ucap Lian

Salsa menganggu, lalu mengulurkan tangan untuk menyalami suaminya. "Iya, hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa makan siang," pesannya lembut.

Lian tersenyum, mencium kening Salsa sekilas. "Siap, Istriku."

Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang