Day Five in Japan
Pagi baru saja menampakkan dirinya di Jepang. Langit masih pucat, dan suara burung pun belum terdengar. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah, Lian dan Salsa memilih kembali bersantai di kamar hotel mereka yang hangat, membiarkan waktu berjalan perlahan.
Salsa, masih mengenakan mukena, kini sudah setengah terlelap di pangkuan Lian. Kepalanya bersandar di dada suaminya, matanya setengah tertutup, tapi bibirnya masih sempat berbisik pelan.
"Lian, aku pengen ke Gunung Fuji ... pengen liat pemandangannya," ucapnya dengan suara manja.
Lian tersenyum, tangannya membelai punggung istrinya dengan lembut. Pagi itu terasa tenang dan hangat, bukan karena pemanas ruangan, tapi karena kehadiran orang yang ia cintai, yang kini begitu nyaman dalam pelukannya.
"Nanti ya, Sayang ... Sekarang masih jam setengah enam pagi," jawab Lian tenang. "Kita istirahat dulu sebentar. Nanti pas mataharinya udah naik, baru kita jalan."
Salsa mendongak, menatap wajah Lian yang masih terlihat mengantuk tapi tetap memancarkan kelembutan.
"Tapi beneran diturutin, ya? Jangan PHP."
Lian tertawa pelan. Ia menunduk sedikit, mencium kening Salsa.
"Iya, Ca. Beneran. Aku bawa kamu ke Jepang emang niatnya buat nemenin kamu ngelakuin hal-hal yang kamu pengen. Termasuk liat Gunung Fuji."
Senyuman mengembang di wajah Salsa, membuat matanya yang sembab karena habis bangun tidur terlihat bersinar.
"Berarti naik kereta ya?" tanyanya lagi, memastikan.
"Iya, nanti aku pesen tiket yang jam sembilan. Biar kita bisa sarapan dulu, santai-santai dulu, baru berangkat."
"Okeii," jawab Salsa senang. Suaranya terdengar begitu polos, membuat Lian tak bisa menahan senyum.
"Jangan gemesin gitu dong, aku gigit nih pipinya," goda Lian sambil mencubit pipi Salsa pelan.
"Ish, sakit tau!" gerutu Salsa, memukul pelan lengan Lian dengan wajah merengut tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Utututu, maaf ya Sayang," ucap Lian sambil mengelus pipi istrinya, lalu mengecupnya dengan manja.
Setelah beberapa saat, Lian bertanya, "Mau sarapan apa? Aku pesenin dari restoran hotel, ya?"
Salsa berpikir sebentar. "Tamagoyaki aja."
"Udah itu doang?"
"Udah, pengen yang ringan aja."
"Minumnya?"
"Jus jeruk, yang dingin."
Lian mengangguk, mulai membuka aplikasi pemesanan hotel. Tapi Salsa tiba-tiba menatapnya dengan alis terangkat.
"Kamu sendiri mau makan apa? Dari tadi nanya aku terus."
Lian melirik istrinya sekilas, lalu menjawab santai, "Aku pesen yang sama kayak kamu."
Salsa mengerucutkan bibir. "Emang kamu suka? Jangan-jangan ntar nggak dimakan lagi ..."
Lian tertawa kecil. "Suka kok. Kan katanya, 'what wife likes, husband follows'."
Salsa memutar bola matanya. "Hadeh ... iya deh, tapi awas kalau nggak dihabisin. Kayak kemarin, baru suap dua kali, terus nyerah."
"Aku habisin, beneran. Kali ini enggak akan nyisa. Lagian aku juga pengen nyobain Tamagoyaki pagi-pagi gini."
"Yaudah," jawab Salsa, akhirnya tersenyum kecil.
Lian pun menyelesaikan pesanannya. "Kata sistemnya, makanannya sampai sekitar tiga puluh menit lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Marriage
Fiksi Penggemar"Our Marriage" adalah kisah tentang Lian, seorang pria muda yang sukses, dan Salsa, seorang wanita cerdas dan berambisi. Keduanya dihadapkan pada sebuah perjodohan yang tak terduga, sebuah permintaan terakhir dari nenek Lian yang sedang sekarat. Lia...