Bagian 11

223 26 3
                                    

"Bapak mau ngomong apa yang bapak lihat dan rasakan. Kalo ada kekeliruan mohon dimaafkan. Bapak merasa kalo kosanmu itu panas, Mas Amar. Bapak biasanya langsung masuk terus ikut ngobrol di dalem to? Ikut duduk di meja makan to? Tapi hari ini bapak merasa gak betah, gak mau masuk terlalu dalam, seperti ada yang menolak kedatangan bapak dengan cara kasih rasa gak nyaman supaya bapak gak jadi masuk."

"Pas bapak coba lihat, yang pertama terlihat itu ada perempuan, jelek sekali wujudnya, bapak lihat dia di lantai atas. Rambutnya panjang gak jelas, kepalanya penyok, darah di mana-mana, baunya anyir sekali. Baru sekali ini bapak lihat dia, sebelumnya gak pernah, bahkan dari awal bapak nganter Selin ke kosan sampai Desember tahun kemarin juga perempuan itu gak ada, baru sekarang bapak lihat."

"Jujur sama bapak, kamu sama yang lain betulan aman di kosan? Bapak kok merasa kalian semua gak aman, gak mungkin energi senegatif itu gak menimbulkan efek apa-apa."

Amar mendengar dengan saksama setiap kata yang diucapkan Pak Ardhi, Bapak dari pujaan hatinya, Selena.

"Dari pertama kita sampai di kos setelah pulang dari mudik, di hari itu juga kita mulai diganggu, Pak." Ujar Amar dengan jujur.

"Kok kamu gak ngomong bapak sih, Mas? Kamu kan tau bapak bisa bantu. Udah sebulan berarti kalian hidup berbarengan sama perempuan itu. Semakin lama semakin kuat, kalo sekarang kayanya bapak gak bisa bantu banyak, harus ada orang lain yang ikut turun tangan."

"Awalnya cuma gangguan biasa, Pak. Suara orang manggil, suara benda jatuh, gangguannya masih ringan. Tapi memang minggu lalu gangguannya semakin besar, apalagi setelah kita panggil ustad." Ujar Amar.

"Anakku hampir kamu jatuhin dari lantai atas kan?"

Amar langsung terkejut ketika Pak Ardhi bertanya demikian.

"Maaf, Pak." Amar tertunduk sebab merasa bersalah.

"Alasan bapak datang sendirian di kos ya karena ini, yang jagain anakku kasih laporan katanya anakku dalam bahaya. Alasan nyusul ibu karena bapak sibuk itu ya bohong, bapak sengaja mau berangkat sendiri biar bisa mampir, kalo ibu sampai tau anaknya kenapa-napa pasti Selin langsung disuruh pulang. Kamu mau tak pisahin dari Selin?"

Amar langsung menggeleng ribut, "Jangan, Pak."

Pak Ardhi langsung tertawa, "Bapak tau kamu serius sama Selin, buktinya kamu udah bikin rumah, udah beli cincin juga to? Bapak tau, bapak lihat."

Amar menggaruk lehernya kikuk.

"Bapak tunggu kapan pun kamu siap, tapi jangan sampai anakku dibuat nangis. Habis kamu sama bapak kalo Selin nangis."

"Siap, Pak. Diusahakan sesegera mungkin." Ujar Amar dengan penuh keyakinan.

"Bapak cuma minta, tolong kamu jaga anak bapak, anak-anak yang lain juga dijaga karena memang kamu yang paling tua di rumah dan paling bisa bapak percaya. Bapak akan bantu dari kejauhan, sebisa mungkin bapak akan bantu setidaknya untuk bikin rumah jadi adem, gak sepanas sekarang." Ujar Bapak.

"Pak, anak-anak itu banyak yang nebak-nebak soal gangguan di rumah. Soal si perempuan jelek sebetulnya Yohan dan Nina yang dikasih lihat wujudnya. Terus dari situ banyak yang nebak kalo kosan dikasih kiriman biar penghuninya gak betah terus kosannya ditinggal. Apa betul memang ada yang kirim kirim ke kosan?" Amar bertanya.

Pak Ardhi terlihat diam sebentar, sesekali beliau menghisap rokoknya, "Bukan kiriman, Mas. Alhamdulillah Pak Abi orangnya baik, jadi secara gak langsung mengundang yang baik juga untuk suka rela membantu menjaga kosan."

"Kecolongan sih kalo menurut bapak." Imbuhnya.

"Kecolongan gimana maksudnya, Pak?"

Pak Ardhi pun mematikan rokoknya dan mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak, "Ada orang yang masuk terus melakukan sesuatu di dalam rumah yang akhirnya mengundang perempuan jelek itu untuk masuk."

Kos Lembah ManahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang