Dalam berbagai hal, aku selalu merasa terpaut jauh darimu. Untuk bisa bersanding denganmu, kukira aku harus menjadi seorang manusia yang luar biasa. Namun, kini aku sadar bahwa sehebat apa pun jadinya aku bila pada dasarnya kau tak punya perasaan apa-apa tentu akan sia-sia. Kau terlampau jauh dari jangkauanku. Berjalan denganmu, terkadang aku merasa tersisih – kalah oleh mereka yang dahulu pernah ada di hidupmu. Dan tentu saja mereka lebih dariku, itu sebabnya kau pernah menjalin kisah kasih meski berakhir perih.
Katamu aku rumah, namun kau diamkan aku di saat marah. Katamu aku rumah, namun kau lebih memilih orang lain sebagai tempat berkeluh kesah. Katamu aku rumah, namun tak pernah kau jaga hatimu untukku – sehingga jauh dari pandanganmu sesungguhnya aku gelisah. Katamu aku rumah, namun segala bentuk perjuanganku kau tolak mentah-mentah. Sehebat itu kau tak menginginkan aku. Sebodoh itu aku berjuang untukmu.
Kau membias dalam setiap sajak dan senandika yang kutulis. Terasa lebih dekat namun tetap tak tergapai. Dan soal menggapaimu, bukannya aku tak pernah berusaha untuk terbang lebih tinggi. Melainkan, kau yang selalu menghindar dariku. Kita menjelma dua kutub yang saling bersinggungan, tak pernah bisa bersatu meski berusaha sekuat tenaga. Dan kau menganggap itu semua sebagai salahku.
Aku takkan memaksamu untuk bertahan lagi. Lakukan saja semaumu. Perasaanku, adalah tanggung jawabku. Meski kau abaikan ia akan tetap tumbuh dalam hatiku. Hati yang kau lukai habis-habisan. Hati yang ada namun tak dianggap nyata.
Jangan salahkan aku karena sikapku yang berubah. Ketahuilah, bahwa aku pernah menjadi yang paling tabah sebelum kau paksa pergi dan mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poetrysebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan