Jumpa Pertama

9 0 0
                                    

Walau tak sedramatis perjumpaan tokoh utama dalam film-film romansa, bagiku perjumpaan kita tetap mengesankan. Bertahun-tahun berlalu, ingatan itu masih kuat. Setidaknya saat kau jauh dariku, kenangan-kenangan itulah yang tersisa. Segala tentangmu tertanam kuat dalam lobus temporal. Meski banyak ingatan baru, itu sama sekali tak mengurangi ingatanku terhadapmu. Aku terbiasa mengingat hal-hal kecil darimu; warna dan jenis pakaian, topik pembicaraan, sampai kebiasaanmu melupakan hal-hal penting.

Kini aku mengerti, jika hal-hal penting saja kau lupakan, apalagi aku. Jika boleh memilih, aku ingin menjadi pelupa sepertimu alih-alih memiliki ingatan fotografis. Aku ingin melupa agar segala luka dan sakit di hatiku cepat pulih, agar segala lebam dan perih kembali sembuh. Namun, fakta bahwa aku memiliki ingatan fotografis membuatku bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Bahagia karena masih bisa mengingatmu dengan baik, sedih karena kenangan pahit tentangmu terasa lebih kuat menusuk-nusuk dada.

Setelah kepergianmu, hampir setiap malam aku bermimpi tentangmu. Lantas aku mengutuk sang waktu karena membangunkanku dari perjumpaan kita yang semu namun terasa begitu nyata. Apakah kau merindukanku? Atau hanya aku yang berharap bertemu dan bisa memelukmu erat? Aku mulai bosan berdialog dengan isi kepalaku sendiri. Aku merindukan cerita-cerita yang kau bagi setiap malam menjelang tidur, atau jika sedang beruntung aku akan menemanimu terjaga sampai mengantuk lewat telepon berjam-jam.

Kini, semua terasa seperti bumerang. Kenangan-kenangan itu perlahan menusuk-nusuk dadaku dengan brutal, mengoyak hati yang rapat-rapat merawat luka, menyadarkanku bahwa semua telah berlalu sejak kau berpamitan diiringi tangisku yang tak bersuara. Perih, mengetahui fakta bahwa orang yang selama ini menjadi alasan bahagiaku mengatakan hal yang paling aku takutkan. Sejenak waktu terasa melambat. Hingga kini aku masih berusaha percaya bahwa itu semua nyata, bukan sekadar fiksi yang mengendap di kepalaku. Jika bersamaku hanya membuatmu terluka, maka lukai saja aku agar terasa adil bagimu, lalu beri tahu di mana letak kesalahanku. Namun kau memilih pergi tanpa penjelasan pasti. Bersamaan dengan itu, semuanya selesai, tanpa pernah benar-benar dimulai. 



Aku pernah diingatkan tentang betapa sakitnya mengakhiri hubungan yang bahkan belum dimulai. Aku selalu keras kepala, hingga itu terjadi hari ini. ironisnya, kau yang meninggalkanku – seseorang yang tak pernah terbayang akan sejahat itu.

Bulan yang Didamba MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang