Selama kau tak pernah menjadi aku, selama itu pula kau takkan pernah tahu rasanya menjadi aku. Bagaimana perihnya mendamba seseorang yang tak pernah menganggap, bagaimana sakitnya mendamba dalam hampa, bagaimana rapuhnya berpijak pada kenyataan yang tak utuh. Tolong, jangan hakimi aku yang tak pernah habis menulis tentang rasa sakit. Aku hanya ingin kau baca dan kau dengar. Mengapa aku tak meminta dihargai? Kau tahu sendiri, itu sulit terjadi – bagaikan mendamba pelangi di malam hari. Kapan terakhir kali kau menanyakan kabarku? Tak pernah.
Aku ada di setiap sakit dan jatuhmu. Tapi di mana kau saat aku membutuhkanmu? Sedang menghabiskan waktu dengan seseorang? Aku tak ingin tahu. Aku butuh seseorang yang bisa meyakinkanku bahwa hidup akan baik-baik saja. tapi, barangkali aku keliru. Bagaimana aku bisa baik-baik saja, sementara orang yang kusayangi pergi bersama yang lain?
Bukti segila apa yang ingin kau lihat dari rasaku? Kesungguhan seperti apa yang ingin kau dapatkan dariku? Aku mencintaimu sedalam-dalamnya rasa, kau mengacuhkanku dengan sesadis-sadisnya tega. Lalu aku runtuh dalam kecewa, menumpuk sedih yang bermuara di pelupuk mata. Aku benci caramu menyia-nyiakan diriku. Bunuh saja, agar aku bisa pergi bertemu bidadari surga, meninggalkanmu ratu tega.
"Memangnya kamu siapa?" adalah belati yang mampu mengoyak hatiku dalam sekali tusuk. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, jemariku mulai mahir menuliskan frasa di atas rasa yang telah menjadi pusara. Jemari ini, yang tak pernah kau genggam karena terlalu sibuk berdoa perihal niat-niat baikmu di masa depan bersamanya. Tubuhku menggigil kedinginan, mengais puing-puing kenangan yang sulit hilang dalam ingatan. Di lain tempat, kau tengah memadu kasih. Senyum tersipu dalam dekapnya yang menyisakan perih di dadaku.
Dan rasa perih itu bisa dengan mudah mereda tiap kali kupandangi bola matamu. Bola mata yang tak pernah sedikit pun mengisyaratkan dirimu yang begitu tega. Bola mata yang mampu menyesatkanku untuk masuk lebih jauh ke duniamu yang begitu menyenangkan. Matamu adalah bukti nyata betapa Tuhan maha sempurna, menciptakan indahnya dunia dalam diri seorang hawa.
Sayangnya, keindahan itu bukan untuk kumiliki, melainkan hanya untuk kupandang dari jauh. Aku melihatmu bahagia bersamanya, seolah-olah dunia hanya milik berdua. Sementara aku adalah imigran gelap yang menyusup demi bisa menemuimu yang jelas-jelas tak pernah menginginkanku. Untung saja mencintaimu adalah hal yang gratis layaknya oksigen untukku bernapas. Bila aku harus membayar untuk mencintaimu, maka aku akan memiliki dua masalah rumit. Pertama, aku tak tahu harus mencari uang dari mana. Kedua, aku akan merugi karena kau tak pernah membalas rasaku. Itulah adilnya Tuhan, dalam rasa sakit pun aku masih bisa menemukan alasan untuk mencintaimu. Aku takkan pernah berhenti mendoakanmu. Hingga kau berada dalam posisi sebenar-benarnya bahagia, meski aku harus belajar sedalam-dalamnya berlapang dada.
Tenang saja, berpura-pura tertawa bagi badut sepertiku adalah hal yang sangat mudah dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poesiasebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan