Ada tak dianggap, menghilang tak pernah dicari, itulah aku. Aku yang ingin marah tapi tak bisa. Ingin menuntut tapi sadar diri bahwa aku tak pernah menjadi bagian berharga untukmu. Lagipula harus menuntut apa? Karena sejatinya kau dan aku tak pernah menjadi kita. Aku mencintaimu, kau mengabaikanku. Dan masih saja aku senyum-senyum sendiri tiap kali kau berkabar, padahal hatimu entah sedang mengingat siapa, entah untuk siapa.
Sakit sekali rasanya saat aku meluangkan waktu untukmu kapan saja, dan kau hanya datang di waktu luang saja, bahkan hanya untuk sekadar menyapa. Kutepikan segala kesibukan demi bisa berbagi cerita denganmu, sementara kau sibuk dengan duniamu. Aku tak menuntut kau selalu ada 24 jam untukku, hanya saja aku merasa kesepian, merasa ditinggalkan setiap kali kau menghilang tanpa kabar. Sungguh lucu, aku merasa ditinggalkan oleh seseorang yang bahkan tak masalah dengan ketiadaanku.
Kendati begitu, masih saja kau menjadi yang teristimewa di hatiku. Aku tak bisa membedakan antara menunggu dan menyakiti diri sendiri. Karena selama ini aku tetap sabar dengan pribadimu yang cuek dan dingin padaku, yang hilang tanpa kabar lalu membuatku bertanya-tanya tapi merasa tak berhak untuk bertanya. Sudah tahu rasanya sakit, masih saja aku bertahan.
Lalu, satu kata "hai" darimu dengan begitu dahsyat bisa membuyarkan amarahku yang tertahan. Kau memperlakukanku seolah-olah kejujuranku hanyalah kebohongan belaka. Kalimat manis saja hanya kau ucapkan saat bercanda. Dan "sadar diri" adalah dua kata yang selalu kukatakan tiap kali merasa tak dihargai. Tugasku hanya membuatmu tertawa bahagia, bukan membuatmu menangis bahagia. Ya, itulah aku. Sang badut yang ditugaskan menghiburmu di kala sedih, dan menghibur diri sendiri saat aku sedih. Aku hanya diperbolehkan menghibur, bukan memilikimu.
Saat kau terluka, aku ada di sampingmu. Saat aku terluka kau tak ada, karena kau sendiri yang menyakitiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poetrysebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan