Konon, sesaat sebelum kita mati, momen-momen indah dalam hidup kita akan berputar silih berganti layaknya film. Jika itu memang akan terjadi, momen-momen bersamamulah yang akan kulihat nanti. Saat-saat kita masih sekolah, bertingkah konyol, melihatmu tertawa lepas, seolah-olah aku akan selamanya bersamamu. Meskipun kilas balik kenangan itu kini semakin terasa samar, namun kenangan bersamamu tetaplah mengesankan bagiku.
Aku tak tahu apakah kau yang kelak ada di sampingku menjelang kematian, atau hanya kau dengar kabar kematianku dari orang lain. Aku lelah mengejarmu yang dingin, walau namamu masih setia kurapal dalam doa. "Tuhan, jika memang dia yang terbaik untukku, tolong jaga dia untukku. Jika dia bukan untukku, tolong kuatkan hatiku." Terdengar seperti seorang yang pasrah? Mungkin. Karena aku tak perlu susah payah menunjukkan segala daya dan upayaku untukmu. Diam, sadar diri, dan tetap mendoakanmu adalah yang terbaik untuk saat ini.
Orang-orang bisa menunjukkan rasa empati, tapi tak bisa benar-benar merasakan apa yang sedang kurasakan. Bahkan kau yang terus menuntutku untuk kuat takkan tahu rasanya menjadi aku. Kau takkan tahu rasanya diabaikan, kau hanya bisa mengataiku berlebihan. Kau takkan tahu rasanya berjalan dalam kegelisahan, yang kau tahu hanyalah aku laki-laki cengeng yang menangis setiap kali takut kau pergi. Kau takkan tahu rasanya tersakiti sementara kau bertingkah seolah aku yang menyakiti.
Di matamu aku selalu salah. Bahkan, menaruh hati padamu pun tak pernah dibenarkan. Aku sibuk sendiri memikirkanmu, sementara kau? Entah. Oh iya, memangnya aku siapa sampai harus kau pikirkan? Lucu sekali, betapa aku sering lupa bahwa aku bukan siapa-siapa bagimu. Kau mungkin hanya sedang kesepian, lalu kebetulan ada aku di dekatmu. Aku akan belajar agar terbiasa dengan semua ini. Maaf sudah mengganggu waktumu.
Tak semua yang hadir akan menjadi takdir. Beberapa orang hadir dalam hidupmu hanya untuk singgah, mengukir cerita indah, lantas pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poesíasebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan