Tak pernah sekali pun kau bertanya tentang tulisanku, tentang mengapa semua yang kutulis adalah elegi rasa. Tak sedikit pun kau peduli perihal tokoh aku yang begitu muram kuceritakan. Dan tak sedikit pun kau merasa bahwa aku sedang mewakili perasaanku dalam tulisan-tulisan yang kau baca. Kata-kataku sama sekali tak mampu menembus hatimu yang tertutup rapat layaknya benteng yang dijaga ribuan prajurit.
Aku kehabisan cara untuk menyadarkanmu, bahwa setelah sakitmu yang luar biasa aku ada sebagai pereda; bahwa setelah kepergiannya yang tanpa pamit, ada aku sebagai penyembuh segala sakit; bahwa setelah kau menangisi dia yang bahkan tega menyakitimu begitu dalam, aku ada sebagai penyembuh lukamu yang lebam.
Aku rindu yang menahan kita untuk pulang dengan segera, karena hanya dengan begitu aku bisa memiliki waktu berdua. Di luar itu, aku tak lain hanyalah tempat paling asing yang tak pernah kau kunjungi. Hanyalah sunyi dan kosong yang tak pernah kau rindui. Jangankan merindukanku, bukankah malam-malammu selalu dipenuhi dengan oborlan mengasyikan bersamanya? Dengan matamu yang berbinar kau bercerita, bangga memiliki seorang lelaki seperti dia. Smentara aku, tak usah kau tanya bagaimana perasaanku saat itu.
Aku tak pernah penting untukmu, karena posisi itu telah terisi olehnya. Dia yang amat kau banggakan, dia yang berhasil membuatmu merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia, dia yang amat kau hargai dan tak pernah ingin kau lepas. Berbeda denganku, dia begitu kau jaga. Hingga tiba saat di mana dia melukaimu, membuatku harus bersusah payah menjahit lukamu yang basah. Kuharap kau menyadari perasaanku. Namun, apa yang kemudian terjadi? Sumpah serapah yang keluar dari mulutmu, menganggap bahwa semua lelaki sama saja.
Belum sempat aku menunjukkan betapa dalamnya rasa, kau enggan untuk kembali jatuh cinta. Lagi-lagi aku kembali jatuh cinta sendirian, memungut kepingan hati yang berserakan semenjak kau bersamanya, sekuat tenaga menahan tangis yang tumpah ruah seenaknya, memeluk kembali kekosongan dalam hati yang mendambakanku. Aku tenggelam dalam rimbunnya tanya. Apakah aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku? Adalah pertanyaan yang tak pernah terjawab, kalau pun terjawab, aku takut kau berkata tidak. Aku telah belajar sadar diri sejak lama, dan entah kepana perasaan itu selalu berhasil mengoyak dadaku. Karena mencintaimu adalah cara sederhana untuk membuktikan bahwa tangis dan tawa adalah dua hal yang saling melengkapi. Seperti aku yang mencintaimu tanpa tapi, dan kau yang mencintaiku hanya dalam mimpi.
Tak perlu menuntut seseorang untuk selalu ada, karena orang yang tulus akan melakukannya tanpa diminta. Dan itulah yang tak kudapatkan darimu. Maka lebih baik aku pergi saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poesiasebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan