Mungkin pada satu titik kau akan membenciku. Lalu tiba pada titik di mana kau pun merindukanku. Hidup selalu menawarkan dua sisi yang saling melengkapi. Hari ini kau membenciku, bisa jadi esok kau rindu. Hari ini kau jauh pergi, esok atau lusa kau pasti kembali.
Namun, beberapa dari kita meragukan hal itu. Begitu pun aku, yang sering cemas perihal hari esok yang masih abu-abu. Jika semua mempercayainya, maka takkan ada yang bersedih karena dikhianati, karena cepat atau lambat karma akan bekerja. Takkan ada yang meratapi kepergian seseorang yang amat berarti, karena tak pernah ada yang benar-benar menjadi milik kita. Cepat atau lambat semua akan membaik dengan sosok-sosok baru yang Tuhan kirimkan.
Kadang aku berharap bertukar mata dan hati denganmu. Agar kau tahu sendiri betapa berharga dan istimewanya kau di hidupku. Sayangnya, itu tak mungkin, dan kau masih saja tak percaya. Katamu, aku sama saja dengan lelaki-lelaki berengsek yang pernah melukai hatimu. Katamu, aku layak mendapatkan yang lebih baik darimu. Konyol sekaligus menyakitkan, bagaimana mungkin aku bisa berpaling sementara bahagiaku ada padamu? Tidakkah kau berpikir bahwa itu sungguh melukai perasaanku?
Ratusan hari berlalu setelah luka hebat itu. Dengan hidupmu yang menyenangkan itu, kau masih bisa tertawa setelah menyakitiku. Rupanya, hidup tanpaku adalah hidup yang kau dambakan. Maaf jika sekarang aku memilih untuk diam, karena banyak bicara dan mengemis pun takkan mengubah apa-apa. Kuharap kau merasa apa yang kurasakan selama ini – tentang perasaan yang tak permah bisa membuatku menjadi titik akhir pencarianmu. Berbahagialah dengan caramu melukaiku. Aku takkan risau, karena karma tak mungkin salah alamat.
Bila usahamu tak lagi dihargai dan ucapanmu tak lagi didengar, sudah saatnya kau pergi. Sadarlah, ia tak menginginkanmu. Jangan bodoh hanya karena kau mencintainya. Berjuang bukan berarti tak ada titik jenuh dan akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poésiesebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan