Aku memang tak terlahir sesempurna tipe laki-laki yang kau dambakan. Apalagi seperti aktor-aktor Korea yang kamu favoritkan itu. Aku terlahir biasa saja, yang dengan begitu kau bisa puas membandingkanku atau tak menganggapku sama sekali. Alasannya, mungkin karena memang tak ada yang bisa kau banggakan dari diriku. Namun, bolehkah aku bertanya? Pantaskah kau bercerita tentang seseorang yang kau sukai di depanku yang jelas-jelas berharap kau cintai? Atau aku terlalu hina untuk bisa bersanding denganmu? Aku kesal karena kau tak pernah peduli, lalu aku mencari seribu cara agar kau memperhatikanku. Hatiku sakit, didera luka sayat yang tak juga kau jahit.
Aku tahu lelaki sepertiku mungkin tak pernah masuk dalam kriteria kebanggaanmu. Namun, salahkah menghargai perjuangan seseorang yang rela membagi jam tidurnya hanya untuk mendoakanmu? Aku juga punya hati yang bisa lelah, yang bisa sakit, yang bisa hancur, terutama ketika mendengar ucapanmu yang singkat namun menyayat.
"Salah siapa mencintaiku?" katamu tempo hari. Aku diam, berharap kau sadar betapa egoisnya dirimu. Nyatanya, diamku tak pernah cukup membuatmu mengerti. Kau berkata begitu seolah-olah kau adalah perempuan terbaik di dunia, dan aku adalah lelaki paling hina.
Kata-katamu laksana pisau, menusuk hatiku yang kacau balau. Sikapmu dingin melebihi kutub utara, menyisakan aku dalam tanda tanya. Tiap kali aku terluka, kau bersembunyi dalam kata 'bercanda'. Ya, kau begitu sulit untuk serius, dan begitu mudah melukaiku laksana pedang yang terhunus. Setulus itu aku bertahan, setega itu kau permainkan. Aku adalaj lelaki paling bawel yang menceritakan segala yang kualami padamu, dan kau adalah perempuan paling bisu yang bahkan pergi tanpa satu kata pun terucap. Aku cemas perihal keselamatanmu, kau dengan begitu culas berlalu.
Hatiku babak belur, dihantam luka menyisakan bilur. Bulir air mata jatuh seenaknya melihatmu begitu bahagia tanpa ada aku di sana. Di depanku, kau diam seribu bahasa. Di depan mereka dan dia, kau begitu senang bercerita. Dahulu, dia amat kau banggakan. Kini, aku tak pernah diperhitungkan. Dahulu, kata sayang begitu mudah terucap dari bibirmu yang fasih mengeja rasa. Kini, untuk sekadar senyuman saja rasanya aku harus menjadi orang paling kaya di dunia agar bisa membelinya darimu. Dahulu, ia kau jaga dengan hati-hati. Kini, kau biarkan aku terpuruk, tersungkur, lalu mati. Dahulu, dia adalah yang paling utama dalam setiap rencana. Kini, aku adalah arsip usang yang tertimbun keinginan-keinginanmu yang tak boleh aku tahu.
"Aku harus apa?" adalah kalimat paling putus asa yang keluar dari mulutku. Dan "tak tahu" adalah jawaban sekenanya darimu. Begitu tak penting aku di hidupmu, sampai-sampai untuk menyadarkanmu saja aku harus menjauh. Bodohnya, aku tahu itu takkan mempan karena aku tahu bukan aku yang kau inginkan. Bodohnya lagi, masih saja aku bertahan. Kini, aku tak mau menuntut apa-apa lagi darimu. Bukankah aku hanya temanmu yang ingin naik level menjadi seseorang yang lebih dekat saja tak kau izinkan? Bukankah aku hanya temanmu, yang bahkan membagikan foto berdua di sosial media saja tak pernah kau perbolehkan? Aku tahu, kau pasti malu seandainya mereka tahu. Aku hanyalah temanmu, yang tak punya hak istimewa untuk menyayangimu dengan tulus sebagaimana dahulu kau bersama dia yang kini telah putus.
Terima kasih sudah memberi kepastian. Meski dengan penolakan, bagiku itu lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Didamba Matahari
Poetrysebuah senandika tentang kau dan aku di antara perjumpaan dan perpisahan