Bab 6: The Dio 'Logistik'!

35 1 0
                                    

"Dicariin sama Loki tuh."

"Tom Hiddleston? Kita nggak lagi ada di Marvel Cinematic Universe dan sejak kapan kita punya temen yang namanya sewestern itu? Loki siapa?"

"Lo kira-kira aja sendiri."

Hening.

Feira berhenti berjalan dan menatap Dio yang saat ini sedang sibuk menahan tawanya sendiri. "Lo tuh... bisa nggak sih. Sehari aja. Diem. Nggak usah memunculkan istilah-istilah aneh kayak gitu, I am not upset but... BANG DIO, YA TUHAN—terserah. Harga es teh ini berapa?"

Satu cup plastik es teh yang Dio titipkan padanya barusan, perempuan itu angkat.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Siapa tahu cuma lima ribu dan masih bisa gue ganti, gue udah siap buat banjur nih minuman ke muka lo."

Laki-laki itu tertawa. "Jangan dong!"

Menit-menit selanjutnya, langkah kaki mereka diiringi oleh bicara-bicara Dio tak jelas; menebak-nebak watak orang-orang yang mereka temui dengan asal, memberi nama kucing yang mereka lihat dengan nama-nama yang aneh. Keduanya berjalan bersebelahan dengan Dio yang sedang membawa kardus berisi kaleng cat yang berukuran lumayan besar, jarak dari parkiran kampus ke Pusat Kegiatan Mahasiswa itu sangat jauh bak Sabang sampai Merauke, namun dengan bawelnya seorang Ardio Narendra, Feira merasa jaraknya menjadi lebih dekat dari biasanya.

Sudah seminggu semenjak kejadian hilangnya buku catatan perempuan itu yang ternyata tertinggal di sekretariat BEM kampus, berakhir ia menemukan sticky notes yang tertempel di sana dan bertuliskan bahwa buku itu diselamatkan oleh Dio, ditambah tulisan 'hanya menerima ucapan terima kasih berupa nasi padang' yang menggelitik perut. Pamrih luar biasa. Feira yakin tak seorang pun dapat seterang-terangan seseorang yang sedang berjalan di sebelahnya sekarang. Laki-laki itu mengklarifikasi bahwa benar itu adalah ulahnya, dan Feira menyetujui bahwa keduanya harus memakan nasi Padang bersama—yang selama menunggu pesanannya datang, mereka berdebat apakah nasi Padang itu lebih layak disebut dengan akronim naspad atau nasdang. Whatever—lagipula, siapa sih yang nggak suka makanan terenak se-Bima Sakti itu?

"Itu desain finalnya?" Dio bertanya ketika Feira membuka selembar kertas yang merupakan gambar dari final design dari dekorasi yang akan ia dan teman-teman lainnya buat nanti.

Perempuan itu mengangguk. "He-em."

"Bagus."

Tanpa mengucapkan apa-apa, Feira menatapnya sambil tersenyum dan menaikkan alisnya. Bagi beberapa orang termasuk dirinya, cara ini efektif untuk menyampaikan sesuatu tanpa harus mengucapkannya, meskipun interpretasinya berbeda-beda, semoga Dio menangkapnya bahwa perempuan itu mengucap terima kasih dengan sedikit rasa sombong karena Dio memuji desain yang ia buat.

"Lo jadi isi sebagai band penampil pembuka nanti, Bang? Seru dong bisa unjuk gigi."

"We're on dentist now?" katanya.

"Hehehe. Bercanda please, jangan dulu capek! Kayaknya iya, sih. Nggak tau deh gue sama Wira nanti gimana, semua diurus Yang Dipertuan Agung Saka."

Feira tertawa.

"Gila dikit sih jadi panitia merangkap performer. Gue bantu support aja ya, Bang."

"He-em, thanks buat moral supportnya yang nggak seberapa ini ya, Feira Ananta."

"Ngomong-ngomong," Dio melanjutkan sebelum Feira sempat mencibir ucapannya yang menyebalkan itu.

"Apa?"

"Wira bantuin lo ngecat ya? Gue boleh gantiin dia nggak?"

"Emang kerjaan logistik udah beres? Kalau udah, ya boleh-boleh aja sih Bang. Gue mah seneng ada yang bantuin! Kenapa tiba-tiba?"

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang