Hari Sabtu.
Di akhir pekan seperti ini biasanya Dio masih sibuk di kampus, berkutat dengan satu hal penting serta seribu hal tak penting lainnya. Meskipun kuliah sedang libur, tetapi pasti saja selalu ada alasan yang membuat mengharuskan ia pergi ke sana. Tuhan masih menyayanginya, jadi, sebagai anak laki-laki pertama harapan keluarga yang keren sedikit, hari ini Dio menyempatkan untuk pulang ke rumah. Alasannya sederhana; satu, karena ia harus membawa pulang kopi titipan ayahnya, dua, karena Arsenio.
Sesampainya di rumah, Dio membuka pintu tanpa mengucapkan salam dan langsung menuju ruang keluarga. Berhamburan laki-laki itu memeluk Arsenio yang sedang duduk di sebelah ayahnya. "Adikkuuuuuu!"
Arsenio menatap laki-laki itu ogah-ogahan sambil mencoba menjauhkan wajah kakaknya yang sedang tersenyum lebar. Rautnya ketus, seperti biasa, tetapi dialah yang membuat Dio pulang hari ini. Meskipun dengan gengsi yang setinggi Menara Eiffel Arsenio harus meminta Dio pulang melalui ayahnya, sebab Arsenio tahu kakaknya akan selalu mendengarnya.
"Udah!" Arsenio berseru karena Dio tidak kunjung melepas pelukannya. Ah, memang salah jika berharap Arsenio akan menyambutnya dengan hangat dan lucu. Padahal berpelukan seperti Teletubbies itu menyenangkan.
"Unlike SOME people, yang kalau kangen nggak bisa ngomong langsung karena mengedepankan gengsi, gue lebih bisa mengekspresikan perasaan gue, setidaknya dengan nggak malu untuk memeluk langsung."
"Gue nggak kangen lo."
"Dan gue nggak bilang kalau subjek di pembicaraan gue adalah lo! That's it, that's it, you just said it indirectly! Pi, lihat, bener 'kan?"
Ali tertawa sedang Dio tersenyum bangga atas kemenangan di adu mulut kakak-beradik ini, Arsenio hanya menatap Dio dengan tatapan yang seakan dia siap menerkam lelaki di depannya. Detik selanjutnya, Dio bergabung dan duduk di sofa dengan mereka.
Dio tumbuh dengan kasih sayang sejak ia kecil, dan sampai dirinya dewasa, di dunia ini Dio hanya takut kepada Tuhan dan ayahnya. Apabila ia diberi pilihan lebih baik dihadapkan dengan dosen super killer dengan mata kuliah yang sulit diterima nalar atau membuat ayahnya marah, tanpa berpikir dua kali, ia akan memilih opsi pertama.
Namun, seorang Gemintang Arsenio Narendra mungkin tidak bakal berpikir seperti itu.
Arsenio si pintar dan serba bisa. Tidak seperti Dio yang hidup hanya untuk... 'hidup', Arsenio tahu apa yang harus dia lakukan. Ketika ditanya apa cita-citanya saat kecil, dia bilang ingin menjadi atlet Taekwondo, suatu hal yang baginya terasa besar dan keren. Alasannya? Soalnya Abang cupu nggak heroik, mana bisa ngelindungin aku. Begitu katanya. Memang bukan Arsenio jika dia tidak menyebalkan dan giat mencemooh dirinya. Rutinitas setiap minggunya saat dia SMP adalah berkelahi. Dio sempat tersulut emosi menghadapi kelakuan adiknya yang bebalnya tidak terkalahkan dengan apapun itu, namun melihat ayahnya selalu sabar menghadapinya, rasa sebalnya surut. Usia Arsenio 3 tahun di bawahnya, dan Dio dengan percaya diri dapat berkata bahwa separuh kebahagiaannya bernapas melalui adik satu-satunya itu, Gemintang Arsenio Narendra.
Dio mampu menunda semua apa yang ayahnya suruh, tetapi ia tidak bisa sekalipun mengabaikan keinginan Arsenio. Meskipun gengsinya luar biasa besar, adik laki-lakinya itu selalu jadi satu-satunya orang yang Dio kirimi pesan apabila ia mengalami hal acak ditengah hiruk pikuk harinya yang amat melelahkan, seperti tukang nasi goreng langganannya tutup, atau kuis mata kuliah yang skornya selalu jelek, Arsenio adalah orang pertama yang menerima kabar tersebut.
"Ada es krim di kulkas, Bang. Masih banyak kalau Abang mau." Ali berujar dan membuat dahi Dio sedikit mengernyit. Tidak biasanya mereka mempunyai es krim di rumah karena beberapa alasan; ayahnya tidak menyukainya, serta Nio tidak boleh memakannya, hanya Dio yang menyukainya, tetapi ia jarang di rumah.
"Wow. Tumben?"
"Adek yang mau," jawab ayahnya, lalu Arsenio melempar senyum sombongnya pada Dio.
"Seru ya selama gue nggak di rumah lo berasa jadi penguasa? Sedangkan gue pengen makan enak aja harus nungguin konsumsi rapat!"
"Nggak perlu berlebihan, Ardio. Gue nggak minta mobil seharga dua milyar ke Papi—dan, rapat? Rapat apaan?"
Dio menelan ludah mengetahui adiknya pasti akan meledek dirinya habis-habisan jika dia tahu dirinya terlibat dengan urusan organisasi kampus. Arsenio terus menatap dengan wajah penasarannya, juga ayahnya. Pressure. Akhirnya Dio memberitahu semuanya, dan sesuai dengan ekspektasi, Arsenio terpingkal.
"Yah... gitu deh. Jadi kayaknya Abang dua minggu kedepan nggak akan pulang, Pi. Maaf deh kalau sekarang udah sesibuk selebriti," Dio berkata dilanjut senyum yang penuh sombong.
"Cita-cita lo udah ganti dari family man jadi babu organisasi?"
"Sembarangan!"
"Lho, it's proven. By yourself."
"Stop ngomong seakan gue pulang setiap dua tahun sekali, Nio. Dan gue kuliah, KULIAH. Gue nggak jadi TKI."
Ali tertawa, lantas dia bangkit meninggalkan mereka berdua untuk pergi ke dapur. Ia tahu betul adu mulut kakak beradik itu tidak akan berlangsung sebentar, maka meninggalkan mereka berdua adalah pilihan yang bagus sebelum telinganya terbakar mendengar cecaran Arsenio yang jahat dan tiada habisnya, ditambah bicara-bicara Dio yang luar biasa dramatis dan pointless.
Meskipun begitu, Ali tidak pernah marah.
Karena ayah mereka adalah ayah yang baik.
***
DIO
Desember, 2017
Arsenio merasakan kalah untuk pertama kali di dalam hidupnya.
Hari Sabtu ini dia mengikuti lomba Taekwondo. Hal yang selalu menjadi kebanggaan, bukan hanya untuknya, namun juga untuk gue dan Papi. Karena Nio membuat dinding kosong di rumah menjadi penuh dengan piagam penghargaan kemenangannya. Masuk akal jika Papi selalu menuruti keinginannya.
Mimpinya besar dan dia tahu apa yang sedang dia lakukan. Itu membuat gue takjub karena selama ini gue hidup dengan mengikuti alur saja, tidak pernah mengedepankan hal yang orang-orang sebut dengan 'mimpi'. I'm living my life averagely dan selama itu nggak membuat gue menderita, gue yakin gue baik-baik saja dengan cara gue yang hidup dengan seperti ini.
Nio adalah penyeimbang hidup gue.
"Maaf ya," dia berujar sesaat setelah mengetahui dia kalah di pertandingan hari ini. Kelihatan sangat terpukul karena ini adalah pertama buatnya, padahal gue dan Papi sudah berkata 'nggak apa-apa' entah untuk ke berapa kalinya.
Papi duduk di sebelahnya dan mengusap-ngusap bahu anak bungsunya itu. Lembut, penuh kasih sayang. Hal ini juga dilakukannya ketika gue beranjak dewasa, dia menyadari peralihan sikap gue yang menjadi lebih pendiam dari biasanya—meskipun level pendiam gue adalah level rusuhnya orang lain—dia tahu. Papi selalu memastikan gue dan Nio, kami, hidup dengan benar, dan hidup dengan benar di kamus Papi adalah menjadi orang yang baik.
Karena hal-hal yang baik pasti akan berlabuh pada bahagia.
"Bersyukur." Ujar Papi.
"Nggak apa-apa, kita bisa menang lain kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...