17. Kemungkinan-kemungkinan yang Ternyata Terjadi

20 1 0
                                    

Dua minggu kemudian.

Sepeda motor milik Dio membelah bisingnya jalanan kota dengan secepat cahaya siang ini. Mulutnya bersenandung ria dengan earphone yang terpasang di telinganya yang memutar lagu Check Yes, Juliet oleh We The Kings. Matanya berbinar-binar, bibirnya tersenyum lebar. Ia baru saja pulang dari menemui Arsenio di rumah sakit dengan membawakan adiknya sup telur kesukaannya. Mereka mengobrol banyak, dan tentu saja Arsenio telah mengetahui kabar bahwa kini abangnya sudah resmi memiliki kekasih yang Dio sebut-sebut ia ingin membawanya ke pulau terpencil hanya untuk hidup berdua dengan perempuannya di sana. Arsenio hanya mendesis dan geleng-geleng mendengarnya, sedang Papi mengamati obrolan keduanya dari jauh dan tertawa.

Biasanya, Dio akan merasa sebal ketika ia mendengar kendaraan lain membunyikan klakson ketika lampu lalu lintas masih menunjukkan warna kuning, namun hari ini terlalu dinikmati olehnya sehingga apapun yang buruk tidak mempengaruhi perasaan hatinya. Ia membelokkan sepeda motornya ke sebuah gang besar, bibirnya kembali tersenyum ketika pandangannya menangkap Feira yang sudah menunggunya di ujung jalan.

Ketika ia sampai, Feira berkacak pinggang kemudian melihat jam yang ada di tangan kirinya. "Telat enam menit tujuh belas detik! You probably won't survive even one day in Japan."

Dio tertawa. "Sorry, macet barusan. Sedikit, sih. Nih pake."

"Berangkat, Bang." Ujar Feira ketika ia sudah naik ke atas motor, bahu Dio ia tepuk dua kali.

"Abang, abang! Gue bukan tukang ojek langganan lo!" Mendengar hal itu, Dio mendengus tak terima lalu menoleh ke belakang hanya untuk melihat Feira yang sedang tertawa terpingkal-pingkal, puas sekali.

"Lah, kenapa? I usually called you that way 'kan, Bang Dio?"

"Tolong ya, Feira Ananta. Gue—aku butuh panggilan yang seenggaknya lebih lucu daripada panggilan buat abang tukang parkir, atau abang starling, anything."

"Iya, Dio Logistik."

"Rara!"

Feira tertawa lagi, lantas sebelum laki-laki itu kembali mengomel mengenai seribu hal tidak terlalu penting lainnya, Feira bergegas mencegahnya dengan cara menyuruh keduanya harus berangkat detik itu juga.

Dalam kurun waktu dua minggu semenjak Feira memberikan bintang terakhirnya untuk Dio, ada tiga dari sekian ratus wishlist mereka yang sudah terpenuhi. Yang pertama adalah memakan bubur kacang hijau bersama, yang kedua membuat playlist bersama, dan yang ketiga adalah hal yang amat Feira dan Dio sukai; melamun bersama di bawah pohon rindang yang berada di taman kampus pada sore hari. Meskipun lumayan membuat Dio bergidik merinding tiap kali ia mengingat horror urban legend di taman kampusnya.

Kini Dio membawanya ke tempat di mana—katanya—bukan hanya menjadi favoritnya, namun juga favorit Arsenio, dan juga Papi. Tetapi sebelumnya, tentu saja ada agenda mingguan yang perlu Dio penuhi; mengunjungi Kopi Tiga Pagi, bertemu Esa, mengobrol dengan Eyang Dipta. Dio sudah bersemangat bercerita kepada Esa di malam sebelumnya dan menggembar-gemborkan hari ini akan spesial karena ia tidak datang sendiri ke toko kopinya.

Merasa tidak asing dengan tempat di mana motor yang Dio kendarai berhenti, dahi Feira berkerut heran sebab ia sudah pernah ke tempat ini beberapa minggu lalu. Dio tidak mengucap apa-apa, namun senyum lebar dan semangatnya begitu terlihat. Ia buru-buru menggandeng tangan Feira dan mengajaknya masuk. Seperti biasa, bel gantung berbunyi ketika keduanya masuk dan membuat Esa yang sedang menuangkan kopi ke atas kertas filternya menoleh sepenuhnya ke arah pintu masuk.

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang