18. One Fine Day

15 2 0
                                    

Terperangkap dalam kebosanan serta rutinitas yang memuakkan setiap hari, setelah Arsenio mengeluh bahwa ia belum menonton film lagi setelah ia dirawat di rumah sakit, kini, di depan matanya, Dio sibuk menyiapkan proyektor mini serta sebuah laptop untuk mereka menonton film bersama-sama. Ia dibantu Feira yang kini sedang meluruskan kabel-kabel kusut sebab proyektor itu sudah lama hanya diam di kotaknya karena jarang dipakai.

Katanya, frasa-frasa cinta sudah tidak lagi dibutuhkan bagi mereka yang keterikatannya sudah lebih kuat dari akar pohon yang sudah berumur seratus tahun. Rasa sayang banyak ditunjukkan melalui tindakan-tindakan yang membuat hati kian membesar. Ini jelas bukan pertama kalinya bagi Arsenio. Janji-janji sumbang tidak pernah sekalipun hadir di antara mereka, yang Arsenio yakini hal itu adalah kebahagiaan yang dikirim oleh Tuhan kepada dirinya melalui kakak satu-satunya itu. Bahwa hal-hal besar tak diperlukan hanya untuk mengucap syukur, Arsenio belakangan banyak menggumamkan rasa terima kasih yang besar di dalam hatinya tiap kali nama Dio menggema di otaknya.

"Okay, all set! Mau nonton film apa?" Dio menoleh kepada adiknya yang sedang terduduk di atas kasur dengan selimut yang menyelimuti setengah badannya, beserta sepiring semangka yang berada di pangkuannya.

"The Truman Show." Jawab Arsenio.

"Yang main orang Jawa?"

Feira terperangah tak percaya mendengar pertanyaan yang layak dibuang ke tong sampah itu. "Apa coba?!"

"Itu tuman ya, Ardio. Kayak elo. Tuman." Cerca Arsenio. "Don't disrespect Jim Carrey like that, lah."

"Siap! Hormat kepada raja sinefil!" Dio melakukan gerakan hormat yang ia tujukan kepada Arsenio dan membuat Feira yang duduk di sebelahnya terkekeh.

Detik-detik berikutnya setelah film sepenuhnya terputar, mata mereka fokus menuju ke layar. Di tangan Dio ada semangkuk popcorn rasa caramel kesukaannya yang menjadi pelengkap acara nonton dadakan malam ini. Tak membutuhkan hal-hal besar bagi mereka untuk mendapatkan kehangatan dari satu sama lain. Laughter lingers on the air. Hal ini mengingatkan Dio dengan hari-hari saat SMA-nya dahulu ketika ia dan Arsenio menetapkan menonton film bersama sebagai agenda Jumat malam mereka berdua. Biasanya, kakak beradik itu melakukan suit untuk menentukan film apa yang harus mereka tonton malam itu. Arsenio si nomor satu pembenci genre horor harus bersedia menahan takutnya apabila Dio memenangkan suit dan laki-laki itu dengan sengaja memilih film horor sebab Arsenio membencinya.

Waktu terus berjalan. Di tengah-tengah film, Dio banyak mencibir karakter-karakter yang ada di dalam film tersebut dan membuat Arsenio harus mencibirnya balik untuk membuat mulut laki-laki itu diam karena ia sangat berisik. Feira luar biasa jengah dengan keributan kakak beradik itu. Lantas menjelang bagian akhir The Truman Show ketika film itu hampir selesai, Papi datang.

"Astaga, Papi buru-buru jalan karena kaget kamar Adek nggak biasanya gelap. Kalian buka bioskop dadakan di sini?" Papi menyalakan lampu dan menemukan ketiganya tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Di tangannya ada satu map berwarna putih yang ia simpan di atas meja di dekat sofa yang sedang diduduki oleh Dio dan Feira.

"Nio udah lama nggak nonton katanya, Pi. Jadi, yah, we made one." Jawab Dio. "Sama-sama, ya, Gemintang Arsenio."

"Pamrih amat." Jawab Arsenio dengan mata yang mendelik tajam kepada Dio.

Papi terkekeh. "Jangan tidur malam-malam habis ini Nio."

Arsenio mengangguk dan menurut, kemudian tangan Papi dengan lembut menepuk-nepuk puncak kepala laki-laki itu dengan lembut. Sorot matanya penuh dengan kasih sayang. Kekhawatiran Arsenio mengenai Papi yang mungkin lelah harus mengantarnya bolak-balik ke rumah sakit jelas tak terbukti karena sampai hari ini pun ayahnya masih sepenuh hati menemaninya. For some people, Dad's love is the only fine thing that they have left.

Dio merengut ketika ia melihat kepala adiknya dielus oleh Papi. "Iri banget. Aku juga kan masih pantas di pat-pat gitu."

Feira yang terduduk di sebelahnya tertawa saat mendengar ia berkata seperti itu. Lantas didaratkanlah telapak tangannya di puncak kepala laki-laki itu. Puk-puk-puk. Tiga tepukan kecil ia berikan pada Dio. Sekilas raut wajahnya terlihat terkejut, namun lantas tergantikan oleh senyum yang Dio jelas tujukan kepada Feira.

"Lucu banget? Mau nikah sama aku nggak? Tapi sekarang."

"Yang bener aja!"

"Beneran! Tapi uangku cuma dua belas ribu. Uang kamu ada berapa? Kita patungan. Mau adat Jawa, adat Sunda atau adat istiadat?"

Perempuan itu terkekeh. Kiranya, kebiasaan Dio akan bicaranya yang asal bakal menghilang ketika mereka sudah menjadi sepasang kekasih, namun ternyata ia sepenuhnya salah. Sebab Ardio Narendra tetaplah Ardio Narendra, pernyataan-pernyataan cintanya yang picisan dan dibarengi drama yang penuh gimik. Feira hanya bisa menggelengkan kepalanya apabila Dio sudah mulai dengan 'hal'nya.

Tak lama, Papi menghampiri Dio dan mengajak anak sulungnya untuk keluar dari ruangan. 

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang