15. Suara Itu!

12 1 0
                                    

Setelah sekian lama, akhirnya Feira mengunjungi Mama.

Bunga-bunga segar ia taburkan, batu nisan di depannya berkilauan oleh pantulan sinar matahari, perempuan itu pun menyiram rumput hijaunya dengan sebotol air setelah mencabut rumput-rumput liar dan kering yang berada di sekitar makam ibunya. Ia tak sendiri, di sebelahnya ada Kiran yang turut menaburkan bunga dari dalam kantung kresek yang perempuan itu bawa.

Ini adalah hal pertama yang selalu ia lakukan di hari ulang tahunnya sejak lima tahun terakhir, dan ya, hari ini adalah ulang tahun Feira. Pagi-pagi sekali keduanya sudah sibuk berjalan beratus-ratus meter dan menaik kendaraan umum untuk pergi kesini.

Feira terduduk di atas tanah sembari mengusap batu nisan milik ibunya, hanya tersenyum dan bergeming, tak berkata apa-apa. Tentu ia sudah pernah melewati fase bersedih gila-gilaan sebab ditinggal oleh orang nomor satu yang ada di dalam hidupnya, kini ia tidak lagi meratapi luka terbesar di hatinya sebab yang mati biarlah mati, namun yang hidup harus tetap hidup.

"Lagi ngapain ya Mama, Kir?"

"Lagi ketawa-ketawa di atas sana soalnya anak gadisnya galauin kadiv logistik!"

Mendengar hal itu, Feira hanya tersenyum nanar. Sungguh ia hanya ingin mengingat-ngingat yang baik hari ini. Yang berarti mengingat tentang laki-laki itu bukanlah hal yang baik, gusarnya sudah tidak lagi banyak terasa, pun rasa marah yang sama sekali tidak bernaung di hatinya. Sedikit lagi, sedikit lagi Feira menganggap bahwa kisahnya beberapa bulan ke belakang hanya cerita picisan yang sama sekali tak perlu ia pikirkan lagi.

Feira kembali menaburkan bunga sedikit demi sedikit, hatinya membatin mengenai banyak hal. Bahwa hidupnya mungkin tidak akan terlalu berat apabila ia masih dapat mencium harumnya aroma masakan Mama di dapur, apabila ia masih sering dimarahi Mama apabila ia ketahuan kamar tidurnya acak-acakan, atau ketika ia pulang terlalu malam... atau... seribu kemungkinan lainnya yang akan terjadi apabila ibunya masih ada di sisi perempuan itu. Feira menengadahkan kepalanya dan menatap langit biru ketika ia sadar bulir air mata mulai memenuhi kelopak matanya.

Kiran refleks mengelus punggung perempuan itu perlahan, lantas ia menepuk-nepuk kepalanya. Setelahnya, Feira hanya tersenyum.

"Gue nggak apa-apa. Thank you ya."

Kiran masih merangkul bahu sahabatnya. "Mau nangis juga boleh kok. Nggak akan gue ledekin, well, since lo hidup kayak primitif belakangan ini."

Kalimat terakhirnya dibalas dengan tawa oleh Feira. "No, I'm okay. Sumpah!"

Sekali lagi Feira mengusap batu nisan ibunya, kemudian ia bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk bagian rok hitamnya yang kotor, diikuti Kiran di sebelahnya yang melakukan hal yang sama.

"Sering-sering telepon Ibu, ya, Kir." Ujar Feira, mengingatkan sahabatnya untuk memberi kabar pada ibunya sesering mungkin sebab mereka tinggal jauh dari satu sama lain. Tentu saja, manusia selalu gegabah padahal waktu yang mereka miliki di dunia lebih singkat dari apapun, tidak pernah memperhatikan sekitar dan selalu beranggapan mereka akan baik-baik saja. Hargai selagi ada, maka memori yang baik akan selalu merasuk ke dalam dada.

"Baru semalem telepon Ibu." Jawab Kiran. "Nanti kalau gue pulang ikut yuk? Kangen gudeg buatan Ibu, kan?"

"Kangen banget!"

Senyum keduanya merekah lantas mereka bergandengan tangan keluar dari area pemakaman dengan hati yang megah.

***

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang