25. Joy Wrapped Tightly in Our Hand

37 2 0
                                    

Senja menggantung di langit dengan warna yang begitu oranye. Burung-burung bersahutan dengan semilir bau laut yang menyengat masuk ke dalam hidung. Dio mengeluarkan tangannya lewat jendela mobil, membiarkan angin menerpa telapaknya. Mobil yang ia taiki melaju di kecepatan yang pas—tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat. Feira bilang, karena ini hari spesial mereka berdua, ia ingin bergantian dengan Dio untuk menyetir mobil. Laki-laki itu menyetujuinya, dan kini ia sibuk menopang dagunya di bingkai jendela mobil sembari tersenyum menatap laut yang birunya sudah mulai terlihat.

"Mercusuar, sih. Aku sama Nio selalu penasaran gimana pemandangan laut dari ketinggian. Wouldn't that could be so beautiful?"

Karena sialnya Bandung adalah dataran tinggi, tiga hari setelah Dio mengatakan itu, keduanya langsung melesat pergi ke wisata mercusuar yang berada di salah satu pantai yang ada di Jogjakarta.

Sekali lagi, manusia tak punya kuasa untuk menghentikan hidupnya secara sepihak.

Hari akan terus berganti minggu, minggu akan berganti tahun—terus seperti itu, sebab hidup masih harus berjalan betapapun gilanya dunia membolak-balikkan nasib manusia. Dio berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadikan kepergian Arsenio bukan lagi sebagai derita, namun sebagai perayaan. Perayaan di jalan yang panjang dan tak berujung.

Ia merelakan kepergian adiknya dengan cara menghidupi kehidupannya sebagaimana yang ia inginkan. Hari ini, Dio perlahan bisa keluar dari ruang sesak yang sebelumnya menggagalkannya lagi dan lagi—membuatnya terjebak di kekosongan belaka yang penuh dengan sesak. Namun ia sadar bahwa ia tidak boleh menolak ketidakhadiran Arsenio hari ini dan selamanya.

Lagu Di Beranda oleh Banda Neira melantun melalui radio mobil.

Kini kamarnya teratur rapi, ribut suaranya tak ada lagi, tak usah kau cari dia tiap pagi.

Dio tersenyum tipis dengan mata yang menatap lurus ke arah jalanan ketika ia mendengar sepenggal lirik tersebut. Ah, Arsenio, lo seharusnya ikut dalam perjalanan ini.

Mereka sampai. Keduanya turun dari mobil tanpa mengenakan alas kaki. Feira meraih tasnya kemudian menghampiri Dio yang langsung merangkulnya, kemudian keduanya berjalan bersebelahan menuju bibir pantai.

"Cantik banget!" Feira berujar semangat ketika ia melihat pemandangan yang berada di depannya, warna laut menjadi oranye terkena pantulan cahaya matahari, pasir-pasir pantai yang berwarna putih mengotori kaki mereka berdua.

"Said someone prettier, eh?"

Feira refleks mendelik pada laki-laki di sebelahnya kemudian memukul dadanya pelan, Dio hanya terkekeh.

"Aku udah lama banget nggak ke pantai. Kayaknya terakhir waktu SMA, itu juga pas study tour. Kamu pernah bilang kalau kamu lebih milih pantai daripada gunung, does this make you happy?" tanya Dio. Feira yang masih berada di rangkulannya menatap laki-laki itu, ia mengangguk.

"Jelas, lah. Kalau aku punya ekspresi yang lebih besar daripada 'bahagia', aku pasti ungkapkan sekarang."

"Syukur."

"Apa?"

"Yang lebih besar daripada bahagia—itu syukur." Jawab Dio. "Kata Papi, grief is the last form of love. Aku setuju. Tapi menurut aku, di samping duka juga ada rasa syukur yang pantas untuk disebutkan. Bersyukur juga bisa jadi tindakan terakhir dari rasa sayang yang besar."

Feira tersenyum mendengarnya. "Kamu udah jauh lebih baik daripada sebelumnya."

"Kayak bukan Dio yang aku kenal dengan titel 'logistik' di belakangnya." Lanjut Feira. "Bukan juga Dio yang seneng bercanda dan punya seribu vocab aneh di kamusnya."

Keduanya tertawa bersama. Rasanya sudah begitu lama sejak pertemuan pertama mereka, juga masa-masa di mana masalah keduanya hanya pekerjaan yang berat dari divisi masing-masing. Lucunya masih terus berada di sana, Dio masih banyak bicara seperti biasanya, Feira juga masih jadi pendengar setia yang bersedia mendengar semua cerita-ceritanya di penghujung hari.

"Ra," lanjut Dio. "Makasih ya."

"Kayaknya aku belum pernah bilang how I am so grateful for everything we have done ya? Tapi intinya begitu. Intinya aku berterima kasih sama kamu. Kamu udah menepati janji kamu untuk terus di sini, sampai aku lupa kalau aku pernah melewati masa-masa jelek itu."

"Dan sekarang... aku cuma ingin melakukan hal yang sama pada kamu. To be there and keeping you safe even more than at your lowest."

"Nggak usah takut, Ra. Jangan cemas. Kita bakal berangkat dari hal-hal yang paling kecil...."

"... bersama-sama."

Gelora berpendar di udara bersamaan dengan sukacita yang membuncah dari dalam dada. Sore itu, keduanya sepakat untuk membersamai langkah satu sama lain hingga akhir yang sama sekali tak mereka ketahui. Mereka sudah sampai di sana.

Barangkali yang tersisa dari segala kenyataan kini tak lagi menjadi sebatas angan-angan yang terbantahkan. Berdiri di antara bebatuan kasar, berbaring beralaskan semak belukar, pada akhirnya semua bermuara pada kabar yang baik meski apa yang dicita-citakan sempat luluh lantah tanpa deskripsi—meski sosok-sosok yang hilang serta luka yang menolak dibersihkan kerap menjadi pikiran-pikiran tak berakar yang luar biasa terpatri.

Jiwa-jiwa yang terlalu payah untuk patah itu tak lagi hidup hanya di sekelebat alam mimpi, dan pengembaraan panjangnya akan tersimpan di satu memori yang berujung abadi.

Selamanya. 

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang