Bertahan.
Kata yang sering digaungkan oleh manusia ketika dunia sedang tidak berpihak kepadanya. Sejak kecil, semua orang selalu dipaksa untuk memilih; belajar supaya menjadi orang sukses atau tidak belajar dan menjadi orang paling tidak beruntung di dunia, serta contoh-contoh lainnya yang setiap pilihannya pasti bertolak belakang. Kenapa sih, manusia harus memilih? Bukannya 'tidak memilih' juga suatu pilihan?
Mereka dititah memilih tanpa diajari bagaimana caranya bertahan.
Bertahan dari gilanya pilu yang bersemayam jika mereka gagal mendapatkan kesuksesan yang didamba-dambakan itu, bertahan dari masalah-masalah yang solusinya tidak kunjung datang, dan bertahan dari rasa sakit yang ditahan.
Dio kerap kali kebingungan ketika masalahnya datang secara bersamaan, seperti efek domino, berawal dari hal kecil lalu merambat ke banyak hal lainnya dan berakhir jatuh tanpa solusi. Entah bahagia seperti apa yang akan datang pada hidupnya di masa depan sehingga ia menyetujui keputusan untuk dilahirkan ke dunia. That sounds ironic, but it surely is unbearable to feel the ache that caused by feeling the pain he avoid.
Dengan mekanisme koping seadanya, yaitu mengabaikan semua rasa sedih atau rasa sakit yang ia rasakan, berdalih tidak boleh sedih sebab masih ada hari esok yang harus dihidupi selalu Dio katakan pada dirinya sendiri hampir setiap hari. Sia-sia semua orang mengajarkannya untuk memilih ini dan itu sebab saat beranjak dewasa ia tidak mempunyai pilihan lain selain bertahan.
Dio hidup dengan kewarasannya yang ada di ujung tanduk sejak dua minggu terakhir.
Arsenio koma dan dilarikan ke rumah sakit di malam hari dimana Dio tidak ada di sisinya; di malam ia sibuk bercengkrama dan tertawa bersama teman-temannya. Itu menyakitkannya sampai mati mengingat bahwa Arsenio sangat kesakitan sementara ia menikmati waktunya dengan bahagia. Dio mengabaikan semua hal dan menghabiskan banyak waktunya di rumah sakit, pergi ke kampus hanya untuk murni berkuliah tanpa ada acara nongkrong dadakan, Dio juga tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya kecuali Papi.
Hari-hari yang Dio jalani terasa dibelenggu oleh ketakutan yang tidak berkesudahan. Di hari kelima Arsenio tidak sadarkan diri, semua perawat dan dokter yang menanganinya sibuk keluar masuk ruangan sepanjang hari, laki-laki itu semakin tidak terkendali, ini dan itu, istilah-istilah buruk di dunia kesehatan yang tidak Dio cari tahu lebih tentang artinya sebab ia takut kalau-kalau ia menerima fakta yang dirinya hindari.
Duduk di kursi yang berada di samping ranjang adalah kegiatan yang Dio lakukan setiap hari, memandang pemandangan yang itu-itu saja; Arsenio yang tubuhnya dipenuhi oleh selang tipis yang berselingan di sana dan di sini serta banyak alat yang membantunya terus bernapas hingga pada kemarin sore, laki-laki itu akhirnya membuka matanya. Something called hope lingering the air that day.
"It's getting dark there's no light from above you know, you know, that you will always be my sunshine."
Dio memasuki kamar tempat Arsenio dirawat sembari membawa sebuket bunga matahari yang tadi ia beli. Tentu, hal pertama yang didengarnya adalah alunan lagu Sunshine dari The Panturas yang entah ke berapa kali diputar oleh Arsenio. Ingatlah bahwa penyakit kanker tidak akan pernah merenggut tiga hal ini darinya; lagu-lagu kesukaannya, makanan yang dicintainya, dan sifat ketusnya.
Ia menyimpan bunga matahari itu ke atas meja, kemudian duduk dan menghampiri Arsenio di sebelahnya. Dengan sembarangan, Dio menyimpan kresek bening berisikan kue soes yang juga ia beli dari tokonya Elea tadi ke atas selimut yang membalut setengah badan Arsenio.
"Kok sunflower?"
"Soalnya lo nggak bisa melewati satu hari tanpa dengerin Sunshine, kan?" jawab Dio. "Kata Kak Elea, sunflower symbolizes persistence."
"Elea siapa?"
"Kakaknya Bang Brian."
"Oh," ujar Arsenio. "Makasih."
"Iya."
"Gue yang sakit kok lo yang lesu, sih?"
"Sadar diri kek gue worried!"
Arsenio tertawa. "Gue mimpi... tapi semuanya bias banget, nggak paham deh. Nggak segelap kelakuan lo because everything is white, but you know that I like it when it's darker... isn't it? In conclusion, gue sekarat."
Adik satu-satunya itu memang tidak akan pernah bisa menangkap maksud dari nanarnya tatapan Dio serta ketidaksiapan laki-laki itu akan kehilangannya yang selalu menjadi rasa takut paling besar yang Dio rasakan selama ia hidup, karena buktinya Arsenio bisa dengan santai mengatakan hal itu kepada abangnya.
"Tapi lo masih di sini hari ini."
"Soalnya gue masih harus memastikan kalau lagu ini udah masuk di playlist lo." Katanya. "Kata Papi lo diam di sini setiap hari, dan kalau boleh jujur, mengetahui hal itu bikin gue jadi merasa... besar. I don't know why. Makasih ya, Bang."
"No biggies. Sesuatu yang nggak akan mungkin nggak gue lakukan."
"Ini membuka pikiran gue bahwa gue mungkin masih punya waktu buat living my life to the fullest tanpa khawatirin apa-apa. Dua bulan terakhir rasanya gue udah ada di batas paling ujung, nggak ngapa-ngapain selain mengeluh, gue juga nggak berinisiatif untuk semangat dan sebagainya karena gue rasa akhirnya bakal sia-sia."
"But knowing that you are exactly next to me even when I closed my eyes... kayaknya gue nggak perlu khawatir lagi." Ucap Arsenio. "Lega rasanya ada orang yang selalu mendukung pilihan dan keputusan gue yang kadang nggak masuk akal tanpa merasa dihakimi."
Dio tersenyum tipis sambil menatapnya. "Dan gue bakal jadi orang pertama yang senang dengan keputusan lo itu. It's relieving to hear that, Nio. Gue sendiri juga nggak perlu khawatir kalau lo udah mempunyai pemikiran kayak gitu. Berpikiran jelek cuma memperburuk keadaan. No excuse. Karena emang begitu faktanya."
"Gue paham sebenernya, kemarin rasanya susah aja buat keluar dari sana."
"Emang susah, semua susah. Being exist itself udah susah. Nggak ada yang gampang di dunia ini. Pengecualian kalau lo anak presiden yang duitnya udah bisa dipakai buat beli pulau pribadi."
Sebuah fenomena langka yang mungkin terjadi hanya dua tahun sekali, mereka mengobrol dengan serius dan Arsenio tertawa atas jawaban abangnya yang sangat asal, laki-laki itu menatap Dio. "Iya, pokoknya makasih. Whatever it is."
"Santai." Jawab Dio. "Tapi, Nio."
"Gue masih butuh orang untuk dengerin cerita-cerita aneh gue. You know what I mean."
"Apa?"
"Jangan pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...