Ketukan ketiga kali di pintu sukses membuat Dio mengerjap dan terbangun dari tidurnya, dengan susah payah ia membuka mata hanya untuk melihat jam, dan waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Terlalu pagi untuk seseorang bertamu.
Pintu diketuk lagi selama beberapa kali, sekarang lebih cepat dari sebelumnya. Diikuti dengan suara seseorang yang memanggil namanya dengan parau. Laki-laki itu terduduk di kasur selama beberapa detik, setelah menyadari bahwa suara itu adalah suara Feira, dalam sekejap ia bangun dan membuka kunci pintu. Dio mengernyit ketika sadar bahwa di sana bukan hanya ada Feira, tetapi juga Saka yang sedang menenteng kunci mobilnya.
Feira hanya bergeming setelah Dio muncul di hadapannya, ia menatap laki-laki itu dengan mata yang berkaca-kaca, tangan Dio dipegangnya lantas ia memeluknya.
Menangis.
***
Gelap.
Ini jelas mimpi buruk. Mengawali pagi dengan kabar yang sama sekali tak ingin Dio dengar semasa hidupnya adalah pengalaman terkeji yang pernah ada. Hal yang benar-benar tak diinginkannya terjadi; adik yang dikasihinya pergi begitu saja ketika ia sedang tertidur lelap.
Arsenio sudah tiada. Arsenionya sudah tiada.
Pandangannya buram oleh air mata yang memenuhi kelopak matanya, laki-laki itu berlarian memasuki rumah sakit yang ramai dengan orang berlalu lalang sembari tergopoh-gopoh. Beberapa orang tak sengaja ditabraknya namun bukan itu yang menurutnya penting sekarang, sebab cahaya hidupnya bukan lagi telah meredup—namun sudah mati.
Satu persatu anak tangga dinaikinya, napasnya terengah-engah namun ia menolak untuk berhenti berlari. Lorong rumah sakit dicapainya dengan langkah yang sama sekali tak beraturan, ia hampir hilang kendali namun tinggal sedikit lagi, ruangan adiknya berada di ujung koridor dan Dio harus memastikan dengan matanya sendiri apakah adiknya sudah benar-benar tiada atau apa yang dilaluinya hanya bunga tidur yang menghampiri malamnya.
Mendekati ruangan tersebut, detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, punggungnya memanas dan bergidik pada saat yang bersamaan, pun keringat dingin yang perlahan mengaliri pelipisnya. Dio membuka pintu dan muncul Papi di sana, ia hanya berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi setenang hamparan padang rumput yang hijau, hampir tak terlihat menderita. Lantas mata Dio meihat ke arah lain dan menangkap Arsenio yang dari ujung kaki hingga kepalanya sudah tertutupi oleh kain putih. Mesin-mesin penopang hidupnya selama beberapa bulan ke belakang sudah tidak ada di sana.
Secepat cahaya, Dio menghampiri ranjangnya kemudian membuka kain putih yang menutupi wajah adiknya. Kepalanya dihantam sesuatu yang amat berat dan membuatnya runtuh dihancurkan oleh kesedihan yang bertubi-tubi—yang sebelumnya belum pernah hadir.
"Nio! Nio!" Laki-laki itu meneriaki namanya namun hasilnya nihil, Arsenio sudah tak menjawabnya. Matanya tetap tertutup.
"ARSENIO!"
Dadanya sakit luar biasa, rasa sesaknya menyeruak di tempat yang bahkan tidak bisa dirinya sendiri raih untuk sedikitpun. Mata yang binarnya selalu menjadi semangatnya untuk menjalani hari itu kini sudah tertutup selamanya, jantung yang detaknya selalu menjadi alasan mengapa Dio masih ada di dunia sudah berhenti berdetak selamanya.
Selamanya.
Dio mencengkram bahu Arsenio kuat-kuat dengan air mata yang tak berhenti bercucuran mengaliri wajahnya, ia mengguncang-guncang tubuhnya dengan harapan adiknya akan menangkis tangannya seperti biasa ketika ia sudah mulai menjahilinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/211355635-288-k44868.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...