"Cuma ini yang gue punya di ruangan, udah ye, jangan minta yang nggak-nggak."
Feira menerima satu botol kecil yoghurt yang abangnya berikan kepadanya. Semilir angin sore menghangati keduanya. Feira dan Radhi sedang duduk di ayunan yang terletak di taman rumah sakit. Perasaan hati perempuan itu jelas tidak baik-baik saja setelah beradu mulut dengan Dio barusan, kalutnya menyelimuti tubuh, ia kesal, marah, dan merasa bersalah pada saat yang bersamaan. Hanya Radhi yang terlintas di pikirannya mengingat rumah sakit ini adalah tempatnya mengabdi sebagai seorang dokter.
"Ketika kita bertanya-tanya kenapa seseorang grieving dalam waktu yang lama, Ra, mungkin kita harus menganggap diri kita beruntung karena kita benar-benar nggak ngerti rasa sakit yang mereka rasakan itu kayak gimana." Ujar Radhi, ia mengayunkan tubuhnya di ayunan yang ia duduki secara perlahan, melihat ke arah adiknya yang kini hanya diam menatap tanah.
Rasa bersalah mencekik Feira erat-erat, lidahnya kelu hingga ia tak sanggup mengatakan apa-apa untuk membalas perkataan Radhi. Ia mengerti, seharusnya. Feira melakukan hal yang sama ketika ibunya meninggal; meraung-raung di tanah kuburannya dan tidak ingin kembali menjalani hidupnya seperti biasa dalam waktu yang lama. Seharusnya, ia mengerti. Namun sayang, kini sesalnya menggantung di udara. Perempuan itu hanya bisa merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
"And yes, you are wrong." Lanjut Radhi. "Abang nggak mau memberikan pembelaan sedikitpun hanya karena kamu adik Abang, manusia terbiasa dielu-elukan oleh lingkungan sekitarnya hingga mereka kadang nggak sadar sama kesalahannya sendiri."
Jika yang berada di sebelahnya adalah Elene—kakaknya yang lain—Feira yakin ia akan mendengarkan petuah yang baru saja didengarnya disampaikan dengan sehalus mungkin, namun perempuan itu tak berkomentar sebab apa yang dikatakan Radhi adalah sebenar-benarnya kesalahan yang baru saja ia perbuat.
"Hey."
"Iya, Abang. Aku denger."
"Abang tau, kok, kamu nggak bermaksud kayak gitu. Dio juga butuh dorongan supaya dia bisa cepat-cepat kembali kayak biasa lagi, cuma cara yang kamu sampaikan itu salah." Katanya lagi. "Apologize to him later."
"Kalau nggak ada janji di antara aku dan adiknya mungkin nggak harus sampai sebegininya kali ya, Bang." Feira membalas. Yogurt di tangannya masih utuh, tak ia minum sedikitpun.
Radhi menghela napasnya, ia terkekeh. "You are too dumb for this, Feira Ananta, adik gue paling cantik satu dunia."
Dahi Feira berkerut, ia lantas menatap Radhi lekat-lekat. Menunggu apa yang akan dibicarakan oleh laki-laki itu berikutnya.
"Kamu bisa nyerah kapan aja. Kamu bisa berhenti mengkhawatirkan Dio kapanpun kamu mau dan nunggu dia kembali dengan sendirinya. Tapi kamu milih lebih buat nggak seperti itu."
"Jadi itu bukan tentang janjinya, tapi tentang Dio sendiri." Lanjut Radhi. "Mau ada janji ataupun nggak, kamu tulus melakukan ini karena Dio udah ambil peran besar di hidup kamu."
"Iya, 'kan?"
Feira menggigit bibir bawahnya, kemudian ia dengan ragu-ragu mengangguk. Ini bukan tentang Arsenio dan janjinya, tapi tentang Dio yang kini sudah benar-benar memasuki tiap aspek kehidupannya. Perempuan itu kembali menunduk, memikirkan bagaimana cara untuk meminta maaf yang pas kepada Dio. Tentu tidak sekarang, ia masih belum siap untuk kembali melihat wajah kekasihnya setelah apa yang ia perbuat.
"I wish I had more time to have a love like that, Ra." Radhi menepuk-nepuk bahu adiknya pelan kemudian tersenyum kepadanya.
Langit semakin menggelap, Feira bersyukur setidaknya ada yang dapat ia petik hari ini—sedikit tak menyangka bahwa semua itu akan keluar dari mulut Radhi sebab laki-laki itu biasanya hanya bisa meledek dan menjahili Feira setiap mereka berdua. Keduanya kembali memasuki rumah sakit, Feira memutuskan untuk pulang ke rumah hari ini bersama Radhi.
![](https://img.wattpad.com/cover/211355635-288-k44868.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...