20. The Last Thing that He Had Left

19 2 0
                                    

"Namanya Mie Ayam Hijau? Di mana tuh? Enak nggak?"

"Iya, ada di deket kos aku. Coba tebak, yang hijau ayamnya, mienya atau gerobaknya?"

"Abangnya."

Sekilas tawa muncul di wajah Feira ketika ia mendengar jawaban itu keluar dari bibir Dio. Pukul setengah tujuh malam, keduanya baru keluar dari kampus. Dio baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini yang ditutup pada pukul enam tadi, sedangkan Feira mempunyai beberapa urusan dengan temannya serta tugas yang harus diselesaikan di kampus.

Tadinya, mereka akan menonton pementasan teater yang sedang digelar di Gedung Kesenian Rumentang Siang sore ini, namun takdir berkata lain ketika Dio mengabari ia harus menghadiri kelas penggantinya sore ini. Alhasil, memakan mie ayam bersama untuk menutup hari adalah pilihan mereka. Setelah memarkirkan motor, mereka perlu berjalan beberapa meter untuk sampai di warung mie ayam tersebut. Mie Ayam Hijau, ujar Feira, tempat ini adalah salah satu makanan favoritnya yang kerap ia datangi tiap kali ia sedang malas untuk memakan makanan berat lain.

"Katanya, Papa penasaran sama kamu."

Baru saja mendaratkan dirinya di kursi, mata Dio terbelalak, ia menatap Feira tak percaya. "Orang rumah udah tau?!"

Feira tertawa. Pasalnya, tempo hari Dio mengomel ia belum pernah berkunjung ke rumah pacarnya sementara perempuan itu sudah bisa akrab mengobrol dengan Nio dan Papi. Mendengar hal itu, ketika Feira dua hari yang lalu pulang ke rumah, ia bercerita pada kakak-kakaknya mengenai Dio — yang tentu saja, kabar itu langsung sampai ke telinga ayahnya karena Radhi memiliki mulut yang luar biasa seperti ember bocor.

"Kok kaget? Bukannya kemarin kamu yang ngedumel pengen ke rumah?"

"Nggak harus ngasih tau kakak kamu yang dokter sama model itu juga kali...?"

"Katanya insecure is not your middle name?"

Dio cemberut sembari menopang dagunya sedang Feira masih saja tersenyum jahil.

"Oke lah, siapa takut. Aku siap tanding karambol sama papa kamu, nggak tau kan kamu kalau aku atlet karambol? Aku main sama si Mang Kur di depan kosan tiap malem!" jawab Dio. "Mau dibawain apa? Martabak? Ah, nggak, mainstream banget. Boleh gak aku bawa roti buaya sama iring-iringan kuda lumping ke rumah kamu nanti?"

"Yang bener aja! Khitanan lo?"

"Eh! Ela elo, aku pacar kamu dan kita bukan seleb ibu kota ya, Feira Ananta."

"Lebay banget. Bukannya dulu lo juga ngobrol sama gue gayanya begini?"

Silly, they can match each other's freak. Menjahili Dio adalah agenda favorit Feira belakangan ini. Keduanya tidak pernah kehabisan topik pembicaraan karena hal-hal konyol seperti ini pun menjadi diskursus 2 SKS mereka.

"Pokoknya, nanti siapin red carpet aja. Bilangin Papa kamu, siap-siap aku kalahin di pertandingan karambol terbaik abad ini."

"Siap! Your wish is my command, Your Majesty."

Keduanya tertawa. Suara bising dari banyak kendaraan di jalan raya menghiasi malam mereka. Dua mangkuk mie ayam telah tersajikan di depannya, dibarengi dua gelas es teh manis yang juga sudah terhidang di atas meja. Dio mengambil sumpit yang berada di dalam kotak tempat penyimpanan alat makan kemudian langsung melahap santapan yang berada di depannya dengan nikmat. Feira tak mau kalah, sebagai penggila makanan pedas, perempuan itu menambahkan beberapa sendok sambal ke dalam mangkuknya, kemudian memakan mie ayam tersebut. Duh, indahnya menguntai cinta di Kota Kembang ditemani makanan terenak penyelamat mahasiswa semester akhir yang sedang kekeringan dompet.

"Buat aku boleh nggak?" Dio tiba-tiba bertanya. Ia melihat Feira menyisihkan sayur di sisi mangkuknya, perempuan mengangguk.

"You can put it in my plate, next time, kalau kita makan bareng lagi."

"Love language kamu apa, sih?"

Dio mengernyit, kemudian ia terkekeh. "Kok tiba-tiba?"

"Kamu bikin hati aku jadi besar, tau nggak? Hal-hal kecil kayak barusan, everything you did. It does make me happy." Lanjut Feira. Sejenak Dio menyimpan kedua sumpitnya di atas mangkuk, ia membawa tangannya ke atas kepala Feira lalu menepuknya beberapa kali.

"I knew it, buddy."

Feira menatapnya tak percaya, Dio hanya tersenyum jahil dengan mulutnya yang masih sibuk mengunyah makanan yang sedang ia makan. Laki-laki itu tak hanya pandai membuat jantung kekasihnya tiba-tiba loncat dari tempatnya namun juga ia membuktikan apa yang keluar dari mulutnya. Tak jarang Dio menaruh perhatian kecil seperti menghalangi sudut tajam di ujung meja dengan tangannya ketika Feira menunduk untuk mengambil sesuatu, atau mengelap sendok dan garpu dengan tisu terlebih dahulu sebelum memberikannya pada perempuan itu.

Kedua mangkuk mie ayam di depan mereka telah tandas dimakannya. Tak lama setelah Dio menyimpan gelas bekas ia minum, ponselnya yang tersimpan di atas meja, ponselnya berdering dan muncul nama Arsenio di sana. Tak membutuhkan waktu hingga lima detik, Dio menerima panggilan itu dan mengaktifkan loudspeaker supaya Feira yang berada di depannya bisa mendengarkan pembicaraannya dengan Arsenio juga.

"Halo, Abang. Hari ini nggak kesini?"

"Nggak," Dio menjawab singkat. Ia kemudian mengeluarkan bungkus rokok dan korek gas dari saku celana jeansnya, kemudian ia menyalakannya. Dio menghalau asap rokok yang mengepul di udara dengan telapak tangannya supaya asap tersebut tidak mengenai wajah Feira.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, emang kenapa? Kangen ya?"

"Males."

Gelak tawa Dio dan Feira terdengar, mereka bisa melihat wajah ketus Arsenio yang mungkin kini sedang menggerutu di balik panggilan ponselnya. Feira hanya menopang dagu sembari memerhatikan percakapan kakak beradik itu. Ia belum bertemu Arsenio kembali sejak malam — yang menurutnya — melankolis itu, hatinya masih bergejolak jika ia teringat rangkaian kalimat yang Arsenio bicarakan padanya. Perempuan itu, juga, belum berani memberitahukan hal itu kepada Dio, apalagi secarik kertas keinginan Arsenio yang ia ingin Dio dan Feira lakukan untuknya.

"Padahal gue ada sesuatu buat lo."

"Apaan?"

"Ada, deh. Besok aja. Besok kesini, ya."

Hening.

"Iya."

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang