Bab 21
Akhirnya aku usai juga.
Kini aku lengkap sudah.
Dan kematian, keniscayaan,
di persimpangan atau kerongkongan.
tiba-tiba datang atau dinantikan.
Putih – Efek Rumah Kaca
Putih terbentang sejauh mata memandang. Amat terang, terlampau menyilaukan. Kakinya seperti tidak menapaki tanah namun hangat yang menyelimuti begitu menyenangkan hatinya. Aman. Menenangkan. Setelah sekian lama, akhirnya tubuhnya bebas. Senyum lebar terlihat di wajahnya, ia dapat berjalan kemanapun kakinya ingin melangkah dan tak ada yang menghalanginya. Tak pernah ia merasa tubuhnya seringan dan hatinya sebahagia ini.
Ia mencoba mencari apapun yang bisa ia temui di sana namun hasilnya nihil. Hanya putih. Putih saja. Bukan sebuah lorong, bukan pula ruangan. Hanya putih yang terbentang sejauh mata memandang. Ia sedikit kecewa, namun kecewaannya hilang tak kurang dari tiga detik ketika ia sadar selang-selang yang biasanya berselingan di antara tubuhnya kini sudah tak ada di sana. Ia tersenyum.
Tak lama, asap berwarna putih yang dingin melewati kakinya. Ia melihat kedepan. Asap tebal itu kian menipis dan muncul seseorang di sana. Kakinya jenjang, berambut panjang, amat cantik, dan ia mengenalinya.
"Mami?"
Matanya terbelalak, emosi di hatinya mendadak bergejolak. Menyadari ini bukan mimpi, laki-laki itu menyentuh tubuhnya di sana dan di sini. Ia melihat ke sekeliling namun semua masih sama, hanya saja sosok ibunya yang telah berbelas-belas tahun tak ia lihat kini berada tepat di matanya. Ia tak tahu harus merasa bahagia karena dapat bertemu ibunya atau merasa sedih karena dirinya sadar ia harus meninggalkan satu orang yang paling ia cintai semasa hidupnya di dunia.
Wanita itu menghampirinya. Menggenggam tangannya lembut. "Kemari, Gemintang."
"Ini waktuku ya, Mi?"
"Kamu yang mengetahuinya lebih dari siapapun."
"Tapi—Abang—"
Arsenio tak mampu melanjutkan kata-katanya, alih-alih, air mata bercucuran di wajahnya. Mami mengusap air mata itu perlahan, ia tersenyum. "Kakakmu akan baik-baik saja."
7 menit menjelang kematian, manusia dapat melihat kilas balik kehidupannya. Masa-masa terbaiknya, yang paling menggembirakan di otaknya. Mata laki-laki itu terpejam kuat-kuat, di benaknya tercetak jelas memori indah yang pernah ia rasakan di dunia, bersama Papi, bersama teman-temannya, bersama Esa, namun yang paling jelas, tentu saja bersama Dio.
Yang selalu ia takuti tentang kematian adalah mengenai orang-orang yang ditinggalkannya. Laki-laki itu tak peduli tubuhnya kesakitan seakan dirinya dibakar di api neraka selama ia masih ada di dunia dan mempunyai seseorang yang menaruh rasa sayang terbesar untuknya—yang membuatnya nyaman sepanjang hidupnya seakan dirinya melakukan seribu kebaikan di masa lalu. Namun manusia acap kali lupa bahwa mereka harus kembali ke Penciptanya, manusia lupa bahwa mereka masih harus kembali ke tanah yang dipijaknya.
Kakak terhebat sedunia, katanya. Arsenio diam-diam menyematkan titel itu kepada Dio yang tentu saja Dio tak pernah tahu karena Arsenio tak pernah mengungkapkannya. Rasa sayangnya besar sekali, lebih besar dari apapun yang pernah laki-laki itu lihat di dunia. Sesuai namanya, 'Gemintang', Dio pernah berbicara bahwa apabila Arsenio memintanya untuk membawakan seribu bintang dari langit jika itu dapat membuatnya bahagia, laki-laki itu sangat bersedia melakukannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/211355635-288-k44868.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanficBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...