Bab 1: Yang Biasa Itu yang Paling Membosankan

693 82 30
                                    

Sekarang pukul enam lewat lima puluh dan ini bahaya.

Pernyataan Dio masih sama, bahwa terjaga sampai larut malam di hari Minggu bukanlah ide yang bagus. Sekarang pukul enam lewat lima puluh dan sepasang burung merpati menyambutnya dari luar jendela ketika laki-laki itu menyingkapkan gorden untuk memastikan kedua kalinya bahwa matahari sudah benar-benar terbit.

Fakta bahwa dirinya adalah seorang pemalas tidak bisa dipungkiri. Ujar ayahnya, seorang pemalas itu biasanya kreatif, karena mereka—Dio salah satunya—selalu mempunyai jalan unik untuk menyelesaikan sesuatu dengan banyak cara yang nyeleneh. Maka ia melanjutkan hidup sebagai seorang pemalas yang hidupnya tidak terorganisir sama sekali, sedang yang jadi masalah adalah, pada saat yang sama, ia juga seorang perfeksionis. Tetapi sekarang bukan saatnya membuka diskursus bagaimana seorang pemalas yang perfeksionis mengatasi masalah dengan cara yang kreatif, karena pertama-tama, Dio terpaksa harus mengatakan bahwa dirinya sedang dalam keadaan genting. Sekali lagi, sekarang pukul enam lewat lima puluh dan ini bahaya KARENA LAKI-LAKI ITU HARUS SUDAH BERADA DI KELAS PADA PUKUL TUJUH.

Mati!

Seharusnya ia sadar bahwa ajakan Jeff untuk pergi makan ayam bakar pada pukul sebelas malam itu sudah menjadi awal dari ketidakberuntungannya. Tetapi, Darian Jefferson dan segala sifat urakannya mempunyai lebih dari seribu satu cara untuk membuat Dio menerima ajakannya, yang sialnya selalu berhasil. Alhasil, ia bangun telat pagi ini, dan dua detik yang lalu laki-laki itu baru saja mengucapkan kata-kata andalan semua orang ketika mereka sudah tidak tahu mau berbuat apa lagi; ya sudah.

Sebelum seratus hal tidak penting lainnya dijabarkan di sini, perlu diketahui bahwa hampir semua temannya setuju bahwa huruf O di dalam nama Ardio Narendra, adalah 'orang gila'. Ini mengenaskan. Bukan, Dio bukan termasuk dua golongan orang yang sering disebut lain tapi keren; penggiat seni atau maniak sastra, dan Dio hanya keren sedikit. Setidaknya untuk sekarang. Jauh dari ekspektasi ayahnya yang mungkin berharap anak laki-laki pertamanya dapat menjadi orang yang luar biasa gagah atau berwibawa, karakter tersebut tidak akan pernah menggambarkan seorang Ardio Narendra.

Cukup lazim bagi Dio untuk memberi keempat kucingnya dengan nama Kami, Putra, Putri, dan Indonesia, yang jika dilanjutkan bisa menjadi serangkaian butir-butir Sumpah Pemuda, sebagian besar otaknya hanya berisi hal-hal acak yang berjumlah tidak sedikit, yang setelahnya, ketika Dio melontarkan bicaranya yang sangat asal, setidaknya salah satu temannya akan melolong-lolong, "APAAN SIH LO DIO?!"

Ah, siapa peduli! Lagipula, jadi biasa-biasa saja itu pikirnya tidak menyenangkan.

Ponselnya berdering bertepatan ketika jam menunjukkan pukul 9 pagi. Tidak ada lagi orang lain yang akan menelpon Dio sepagi ini selain ayahnya.

"Pagi, Abang."

Asumsinya seratus persen benar. Bergidik ngeri lelaki itu tiap kali ketika ayahnya sudah menelpon dan mulai menyapanya dengan hangat sepagi ini, dan ini hari Senin! Seperti ada dosa besar yang secara tidak langsung sudah ia lakukan. (Meskipun memang betulan ada)

"Morning, Pi! Ada apa nelpon? Jam segini udah kangen anaknya?" Dio membalas penuh ceria seakan tidak ada badai hebat yang menerpanya pagi tadi. Terdengar tawa dari seberang sana. Biar ia tebak, ayahnya pasti sedang menikmati segelas kopi sambil memandangi tanaman-tanaman hijau kesayangannya di rumah yang lebatnya mengalah-ngalahkan Taman Hutan Raya Djuanda. Entah ayahnya memang sedang suka mengoleksi tanaman, atau ia mulai sadar bahwa anak pertamanya berkelakuan seperti satwa liar... perbedaannya begitu tipis. Sekali lagi, ini memang mengenaskan, tetapi jelas Dio tak pernah peduli mengenai semua asumsi orang lain terhadap dirinya.

"Abang, Papi boleh titip kopi yang waktu itu Abang belikan untuk Papi?"

Dio adalah orang pertama yang akan memberi pernyataan bahwa manifestasi kebaikan itu bisa terwujudkan dalam bentuk manusia, dan Ali, ayahnya, adalah salah satu dari mereka. Tak biasa pikir Dio bahwa pria tua itu selalu meminta izin terlebih dahulu tiap kali dirinya hendak meminta tolong kepada Dio untuk melakukan sesuatu ketika sebagai orang tua ia bisa saja menitahnya kapan saja, kesederhanaan yang bisa mengubah cara pandang Dio terhadap dunia.

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang