Senyumnya selalu secerah arunika; mentari pagi yang baru saja terbit di ufuk timur. Sejak kecil, Dio memang banyak berbicara, ia selalu penasaran dengan hal-hal yang baru dilihatnya. Tak jarang Arsenio kewalahan menghadapi sifat kakaknya. Mungkin ada satu kejadian yang sedikit sulit untuk Arsenio lupakan ketika mereka masih menginjak Sekolah Dasar. Kelas mereka hanya terpisah oleh lapangan sekolah, koridornya berseberangan, jelas Dio selalu pasang badan untuk adiknya—meski Arsenio menganggap itu tak perlu sebab memang tak ada yang mengganggunya karena ia selalu berkelakuan baik—jika sempat, Dio selalu berkunjung ke kelas adiknya untuk memberinya satu bungkus snack keripik kentang kesukaan adiknya di jam istirahat.
Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, tentu saja tidak ada drama telat dijemput dan sebagainya. Keduanya selalu pulang ke rumah bersama-sama, Dio selalu menunggu adiknya apabila ia lebih dulu keluar kelas, dan sebaliknya.
Tapi siang itu, Dio dan kedua temannya ketahuan tak sengaja membuat aliran listrik yang ada di sekolah konslet sebab mereka iseng memasukkan garpu ke lubang stop kontak. Sambil tertawa-tawa dan memegang ujung garpu menggunakan daun kering—mereka tahu itu berbahaya, tetapi isi kepala anak kecil tak ada yang mengerti, kecuali, mungkin, Kak Seto—mereka asyik menertawakan kebodohan mereka sendiri tanpa sadar listrik sekolahnya konslet dibuat mereka. Di ujung koridor, Pak Endang berkacak pinggang sembari melolong-lolong marah. Ketiganya berlari dengan wajah tanpa dosa mereka, wajahnya riang, meski akhirnya ketiganya tertangkap dan mendapatkan membersihkan daun kering di taman belakang sekolah sebagai hukuman.
Dio dan teman-temannya tak berkomentar, dengan senang hati menerima hukuman tersebut. Mereka, juga, bermain-main di belakang sana; saling melempar segenggam daun kering kepada satu sama lain dan tertawa dengan riang.
Di sisi lain, Arsenio terduduk di salah satu bangku yang ada di depan kelasnya bersama keripik kentang kesukaannya. Menyadari ia menunggu lebih lama dari biasanya, laki-laki itu mulai gusar, menengok ke kiri dan ke kanan namun tak kunjung menemukan Dio bahkan sampai satu jam kemudian. Ini pertama kalinya, maka Arsenio tak terbiasa ia pulang sendirian ke rumah, apalagi pagi harinya Dio berbicara akan mengajaknya pergi ke salah satu warung internet untuk bermain Play Station dengannya. Membayangkannya saja Arsenio sudah bersemangat.
Berbekal rasa sedih dan dongkol luar biasa, Arsenio akhirnya jalan keluar sekolah dan pulang sendirian. Ketika ia sampai di rumah, satu jam kemudian Dio baru sampai. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun, ia malah tersenyum lebar ketika memasuki rumah dan melihat Arsenio sedang memakan serealnya sendirian sembari menonton TV.
"Abang beli ini buat kamu!" Dio mengacungkan sebuah ukiran cantik yang tertera namanya dan nama adiknya di sana, berwarna biru tua dan oranye. "Bisa digantung di pintu kamar kita, lucu kan?!"
Arsenio tak menjawab. Semangkuk sereal dan film kartun yang ada di depannya lebih menarik untuknya. Melihat reaksi adiknya yang biasa saja, Dio mengernyit dan melipat tangannya di dada, sebal.
"Lihat dulu, dong!" ia menghampiri Arsenio kemudian menunjukkan barang yang ia bawa tepat ke depan matanya. Arsenio mendengus, lantas menangkis tangan kakaknya dari pandangannya. Setelahnya, Dio hanya bersungut-sungut sebal pada adiknya, tak hanya itu, Dio juga menyendokkan sereal yang ada di pangkuan adiknya ke mulutnya tanpa meminta dengan baik atau apa. Kedongkolan Arsenio semakin menjadi-jadi, namun ia tak melakukan apa-apa sebab Dio keburu kabur dan memasuki kamar untuk berganti baju.
Menjelang malam ketika Papi menyuruh keduanya tidur, Arsenio lebih dulu memasuki kamar mereka dan menguncinya dari dalam. Dio yang keheranan mulai menggedor-gedor pintunya dengan cepat dan keras.
"Aku nggak mau tidur sama Abang malam ini." Ujar Arsenio dari dalam kamar.
"Kenapa?!"
Sungguh, jika saat itu Arsenio mempunyai kekuatan untuk melempar pintu kamar pada abangnya, ia tak akan ragu untuk melakukan hal itu. Bagaimana bisa Dio tidak menyadari apa kesalahannya hari ini? Sekali lagi Arsenio dibuat heran oleh sifat aneh Ardio Narendra.
Mendengar ribut-ribut, Papi menghampiri Dio yang sedang berdiri di depan pintu kamar sendirian. "Kenapa nggak masuk, Abang? Tidur. Udah malam."
"Dikunciin Nio, Pi! Nggak mau tidur sama aku katanya. Sombong banget, sih."
"Lho, kenapa?"
Di dalam, Arsenio bergeming. Papi akhirnya membujuknya pelan-pelan dan bertanya apa yang terjadi di antara mereka berdua. Dio, jelas, mengedepankan emosi, bibirnya sudah maju tiga centimeter tanpa menyadari apa yang telah dirinya sendiri perbuat.
"Buka dulu, Adek. Kenapa nggak mau tidur sama Abang hari ini?" Papi berujar lagi. Halus, perlahan. Kedua anak laki-lakinya memang sedang berada di umur yang panas-panasnya, terlebih Dio, keaktifannya jauh dari rata-rata anak seumurannya.
Ceklek. Kunci pintu kamar dibuka, perlahan Papi mendorong daun pintu lalu menemukan Arsenio di dalam yang menunjukkan wajah datarnya.
"Aku nggak pulang sama Abang hari ini. Aku pulang sendirian. Jadi, aku mau tidur sendirian malam ini." Ujar Arsenio. "Abang juga janji mau ajak aku main Play Station hari ini, tapi Abang nggak ada."
Mendengar hal itu, Papi menghela napas dan menatap wajah Dio yang emosinya sudah tidak terlihat lagi. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan tadi siang salah, serta merta Dio terlalu asyik bersama teman-temannya hingga melupakan janjinya pada Arsenio. Dio hanya diam, tak mampu melihat wajah adiknya, maupun ayahnya. Papi merendahkan tubuhnya supaya sejajar dengan kedua anak laki-lakinya.
"Abang, kalau Abang mengajak orang untuk melakukan sesuatu, pastikan Abang bersungguh-sungguh dan memikirkannya lebih dulu. Janji itu harus ditepati, nggak boleh sembarangan menjanjikan orang sesuatu tanpa tahu Abang bisa memenuhinya atau nggak." Mendengarnya, Dio mengangguk pelan. Laki-laki itu langsung menjulurkan tangannya kepada Arsenio dengan maksud untuk meminta maaf.
Melihat Arsenio yang tak kunjung menerima juluran tangan kakaknya, Papi berdeham. "Gemintang."
Arsenio mendengus lalu menerima juluran tangan Dio meski ia mengalihkan pandangan pada kakak satu-satunya itu.
"Maaf ya..."
"Aku masih tetep nggak mau tidur sama Abang."
Papi tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. Ia bicara tidak apa-apa, sedang Dio dalam hatinya masih bersikukuh ingin tidur bersama adiknya malam ini. Akhirnya, Papi membawa Dio keluar kamar untuk tidur di kamarnya. Ia memberi tahu bahwa ini konsekuensi Dio sebab ia tidak menepati janjinya hari ini, Dio hanya mengangguk. Setelahnya ia menceritakan alasan mengapa dirinya telat pulang ke rumah hari ini, termasuk insiden konsletnya listrik sekolah dan dihukum untuk membersihkan halaman belakang sekolahnya. Papi menggeleng tak percaya anak sulungnya melakukan hal seperti itu, berkata ia akan pergi ke sekolah besok pagi namun Dio mengelak, "nggak usah, Papi! Ntar yang ada Abang diketawain satu sekolah! Abang udah damai kok sama Pak Gurunya, peace."
"Tetap aja, Abang. Itu kan hal yang berbahaya? Kalau Abang yang kesetrum nanti yang repot siapa coba?"
"Iya deh. Maaf ya, Papi."
"Dan juga, kenapa ajak Nio main PS di hari sekolah, by any chance?"
Dio ternganga. Ia ketahuan sering mencuri waktu untuk banyak bermain Play Station di luar rumah ketika hari sekolah padahal ia tahu Papi melarangnya. Ia kena batunya lagi. Hari sial! Dio merutuki kebodohan dirinya sendiri, lantas meminta maaf kepada Papi untuk yang kesekian kalinya.
"Maaf ya Pi, Abang janji nggak biarin Nio pulang sendirian lagi."
"Abang udah memikirkannya sebelum bilang seperti itu? Papi sudah—"
"Abang janji, Papi."
Hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya, bulan-bulan berikutnya, hingga tahun-tahun berikutnya, Dio selalu ada di belakang Arsenio ketika laki-laki itu membutuhkannya.
Warmer than the sun in the sky, safer than anything else they had.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...