"Kuliah gimana?"
"Lo masih nanya? Ya udah jelas lah! Kuis gue dapat C. Nggak tau deh, kayaknya gue perlu berguru sama Aristoteles langsung kalau mau dapat A."
"Muka lo nggak ada filsafat filsafatnya so stop, Ardio Narendra. Terus, temen-temen lo gimana?"
"Hmm, gue melewatkan agenda nongkrong lebih dari lima kali. Gue pasti kehilangan banyak life update teman-teman gue! Nggak heran tuh gue kalau Bang Saka tiba-tiba udah eksis jadi PNS besok."
"Udah cocok banget sih kata gue. Terus, gebetan lo?"
Hening.
"Gue... diemin."
"Bego."
Barangkali—BARANGKALI—satu umpatan yang Arsenio lontarkan itu memang cocok diberikan pada abangnya saat ini. Berminggu-minggu menyibukkan diri dengan bolak-balik pergi ke rumah sakit tanpa berinteraksi dengan teman-temannya adalah hal yang gila. Dio tidak banyak membuka sosial media, pun membalas pesan dari orang-orang, termasuk Feira. Setelah ia pikir-pikir, hal yang dilakukannya bukan lagi berpotensi untuk ditinggalkan oleh perempuan itu, tapi Feira mungkin sudah benar-benar melupakannya sekarang. For God's sake, lagi-lagi ia terimpresi oleh kesintingannya sendiri.
"Gue tuh tahu lo bodoh tapi gue nggak nyangka lo benar-benar sebodoh ini..." lanjut Arsenio. Matanya tidak lepas menatap Dio dengan heran.
"I wasn't think clearly, anjir! Dengan lo yang nggak bangun selama berhari-hari aja udah cukup bikin gue stres, gue nggak memikirkan hal lain selain lo, tahu."
"Okay, that flattering me enough. Tapi sebagai orang yang lagi pe-de-ka-te, cewek lo itu mungkin udah nggak minat sama lo sekarang. Syukur-syukur kalau cuma ngira lo lelaki brengsek yang main ninggalin orang, kalau dia udah anggep lo mati secara mendadak gimana coba?"
Dio terdiam sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Apa yang dikatakan Arsenio seratus persen benar. Laki-laki itu menghela napas. "Gimana dong?"
"Mikir."
"Gue masih bercita-cita menggelar resepsi di Bali dan Lombok sama Rara dengan duit gue yang sisa dua puluh ribu di dompet ini, Nio..."
Arsenio hanya memberikan tatapan I'm-so-done-with-this-dumbass sedang seonggok manusia di depannya cemberut. Kekhawatiran besar bahwa Feira mungkin mengira dirinya adalah lelaki yang seenaknya hilang tanpa pamit itu sungguh mengganggu pikirannya, padahal kesempatannya untuk menjadikan perempuan itu sepenuhnya menjadi miliknya tinggal sedikit lagi, tinggal selangkah lagi. Terlalu banyak yang sudah mereka lakukan dan rencanakan, and he probably ruined it all.
Dio menyenderkan punggung ke kursi sambil memegang ponsel yang sedang dirinya mainkan tanpa tujuan. Melihat ruang obrolan mereka yang luar biasa lengang, Dio berniat mengirim pesan padanya namun setelah mengingat sesuatu, ia mengurungkannya.
Hari ini hari ulang tahunnya.
***
"Ra."
Pintu terbuka setelah satu menit Dio berdiam diri di depan pintu berwarna cokelat tua itu. Mungkin ia akan terdengar sangat tidak tahu diri, menghilang selama lebih dari sepuluh hari lalu tiba-tiba muncul di hadapan Feira tanpa rencana. Namun asumsi-asumsi jelek yang bergelayutan di pikirannya itu harus segera dipatahkan.
Lama keduanya saling memandang sebelum akhirnya Feira mengajak Dio untuk turun ke lantai bawah dan duduk di suatu tempat di area kosnya. Tidak ada siapa-siapa di sana, masuk akal karena ini sudah pukul setengah sebelas malam. Mereka duduk bersebelahan, sama-sama belum mengeluarkan satu patah kata pun. Dada Dio berdebar entah mengapa. Tidak seperti biasanya, laki-laki itu luar biasa ragu untuk memulai percakapan. Ini pelik.
![](https://img.wattpad.com/cover/211355635-288-k44868.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...