Satu bulan kemudian.
Mentari masih bersinar seperti biasanya, masih bergerak dari timur ke barat. Mawar-mawar di toko bunga masih bermekaran segar. Jalanan masih padat dengan kendaraan setiap jam empat sore. Semua masih sama. Semua ada pada tempatnya, seperti yang seharusnya.
Sebab yang berubah adalah kehidupan orang-orang yang ditinggalkan yang masih harus melanjutkan hidup dengan gusar yang menggerayami hati.
Tiap kali Dio berhasil untuk membuka matanya di pagi hari, dadanya digelayuti sakit yang deritanya sama sekali tak berkesudahan. Doanya setiap malam adalah ingin terbangun di sebelah adiknya, Arsenio, di alam sana, tanpa harus mengingat-ngingat ketidakadaannya lagi.
Sejak hari itu—hari kematian Arsenio, Dio menjalani hari-harinya tak lebih seperti mayat hidup. Ia hanya mendekam di rumah. Dio tidak menyentuh ponselnya entah sejak kapan, ia menolak berbicara dengan siapapun termasuk Papi. Keluar kamar dengan tatapan yang kosong hanya untuk sekadar pergi ke kamar mandi, lalu kembali masuk ke kamar tidurnya. Hal itu berulang setiap hari, dan sudah satu bulan lamanya.
Berat badannya turun gila-gilaan, ia hanya makan seadanya, dan semua orang kehilangan cara untuk menariknya kembali dari kegelapan yang membuatnya tenggelam dihadang ombak kesedihan yang penuh sesak ini.
Maut adalah awal dari kesengsaraannya. Sudah usai, kiranya? Dio kini memahami arti kata 'sayang' yang mempunyai dua pengertian; cinta dan sesal. Bagaimana bisa? Does the real world is this cruel? Sayangnya pada Arsenio besar-besaran, namun juga, sayang, Arsenio sudah tak berada di dunia yang sama dengannya sekarang.
Dio bangun membuka matanya kemudian mengerjapkannya berkali-kali untuk menjelaskan pandangannya. Ia tak berada di tempat biasa ia terbangun; ia tidak berada di kamarnya. Laki-laki itu bangun dan melihat langit-langit putih dengan bau alkohol serta antiseptik yang menyeruak di sekitarnya.
Ah, rumah sakit. Lagi.
Ia memijit pelipisnya kuat-kuat. Semalam, Papi mendengar Dio mengerang keras dari kamarnya, peluh mengaliri dahi laki-laki itu. Tubuhnya demam tinggi diiringi sakit kepala yang amat luar biasa, dan Papi langsung buru-buru melarikannya ke rumah sakit.
Konyol. I was silly by thinking I can rule the world tetapi sekarang gue berbaring tidak berdaya karena gue menyerah dengan semua yang telah terjadi. Batin Dio.
"Good morning, Bang." Papi muncul dari balik pintu sembari membawa satu keresek putih berisi melon segar yang telah dipotong-potong. Buah kesukaan Dio.
Dio tak menjawab, ia hanya tersenyum seadanya lalu pandangannya kembali lurus ke depan, tak melihat apa-apa. Papi duduk di bangku yang terletak di sebelah tempat tidurnya, lalu ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Dio.
"Abang semalam demam tinggi sampai nggak sadarkan diri, Bang. Masih pusing nggak?"
Dio mengangguk lemas. Setelah itu, Papi hanya menghela napas dengan pandangan yang tak lepas melihat ke arah anak laki-laki pertamanya. Sungguh, hari demi hari hatinya makin teriris melihat kondisi Dio yang kelihatannya masih belum ada perubahan. Gelak tawa yang biasanya selalu memenuhi riuh tiap sudut rumah itu sekarang terasa sepi dan lengang. Semuanya berubah dalam semalam.
"Sembuh ya, Bang. Kuliah lagi, ketemu teman-teman Abang lagi, pergi main sama Rara lagi. Mereka kangen, lho. Saka beberapa kali kirim pesan ke Papi buat nanya kabar kamu."
"Mungkin Abang belum merasa baikan dalam waktu dekat." Lanjutnya. "But you will overcome it, dan Papi akan selalu di sini, Bang. Janji."
Papi menatap Dio, tersenyum tulus lalu menepuk-nepuk kepala laki-laki itu dengan kasih sayang. Lalu ia membuka laci di nakas sebelah tempat tidur Dio dan mengambil sesuatu dari sana. Satu buah kaset pita pemberian terakhir Arsenio untuk kakaknya. 'Our Summer Song', begitu si bungsu menamai kaset mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanfictionBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...