19. Apakah Manusia Bertahan Hidup Hanya Untuk Menjemput Kematiannya?

23 2 0
                                    


Satu hari lagi. Sekian hari lagi. Sebentar lagi. Hanya tinggal menunggu waktunya.

Seperti yang Dio bilang, bicara tentang ditinggalkan adalah hal paling memuakkan di dunia. Kilas balik masa lalu ketika ia harus melihat Mami meregang nyawa di depan matanya sendiri sudah cukup menderita bagi Dio. Tetapi ketika ia beranjak dewasa, laki-laki itu paham bahwa apa yang dialaminya jauh lebih baik daripada ia harus bangun tidur di pagi hari dengan ketidaktahuan mengenai kematian orang-orang yang ia kasihi semasa hidupnya.

Apakah manusia bertahan hidup hanya untuk menjemput kematiannya?

Pertanyaan itu selalu kekal di benak Dio. Untuk apa sebenarnya? What is the worth of living if eventually we are buried with nothing but the grief for the people we leave behind? Apakah manusia dilahirkan hanya untuk mencicipi semua pahit dan manis dunia—dan kemudian—mati? Pertanyaan paradoks yang jawabannya tidak mudah untuk ditemukan, dan bahkan, mungkin tidak akan pernah ditemukan.

Papi membawa Dio keluar ruangan tanpa berbicara apa-apa. Laki-laki tua itu hanya bergeming, langkah Dio diiringi tanda tanya besar dan ia tak berani bahkan hanya untuk mengira-ngira apa hal yang sebenarnya ingin ayahnya bicarakan. Mereka sampai di taman bagian samping rumah sakit yang luas, beberapa bangku dan lampu taman berjejer di sana. Melihat satu yang kosong, lantas Papi melangkahkan kakinya ke sana dan Dio mengikutinya dari belakang.

Keduanya duduk, untuk sesaat, Papi hanya memandangi anak laki-lakinya dalam diam, membuat Dio bingung dan lagi-lagi, bertanya-tanya. Angin malam menusuk kulit, berembus kencang di antara keduanya.

"Kenapa, Pi?" tak tahan, Dio akhirnya melempar satu tanya yang membuat Papi mengeluarkan isi map putih yang sedaritadi ia bawa. Keluar lembaran kertas berupa grafik-grafik dan surat yang sampai kapanpun Dio tidak akan pernah memahaminya. Dio menatap semua kertas itu bingung.

"Kata dokter, Nio nggak bakal bertahan lebih dari satu bulan lagi."

Satu bulan lagi. Tiga puluh hari. Tujuh ratus tiga puluh jam.

Meski lebih lama dari umur kupu-kupu, namun satu bulan tidaklah seberapa.

Sesuatu menghantam dadanya; sakit yang bergelimang. Papi menyadari bahwa memberi tahu Dio hal ini setelah saat-saat bahagianya dengan Arsenio bukanlah hal yang tepat. Namun sekali lagi, satu bulan tidaklah seberapa. Putus asa sekarang atau nanti, di mana bedanya?

Kepala Dio kosong dengan pikiran yang sama sekali tidak berfungsi, Papi mengusap bahunya pelan, lalu menepuk-nepuknya. Keinginannya ingin dibelai penuh sayang oleh Papi terlaksanakan sudah. Namun jika dibersamai kabar buruk? Bukan ini yang Dio inginkan.

"Dio," panggilnya. Papi tidak pernah menyebut namanya secara langsung jika ia tidak berbicara mengenai hal yang serius, sebab Papi pernah bilang bahwa panggilan 'abang' untuk Dio adalah favoritnya. Namun kini mendengar Papi mengucap namanya ditengah-tengah malam yang lengang dengan berita mengenaskan yang menyertai membuat napas laki-laki itu tercekat.

"Belajar untuk nggak menolak hal-hal buruk yang akan atau sudah terjadi," lanjutnya. "Kamu harus siap hidup tanpa adik kamu."

"Nggak bisa." Dio menjawab cepat.

Papi menghela napasnya dalam-dalam, Dio tak berani menoleh ke arah ayahnya, namun terlihat jelas bahwa mata laki-laki itu kian memerah dan berkaca-kaca. Urat-uratnya terlihat mencuat saking kerasnya ia mengepalkan tangannya.

"Sebagai anak Papi atau sebagai kakaknya Nio, Bang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu selalu melakukan semua sebaik-baiknya, sebesar-besarnya." Kata Papi. "Kami senang punya kamu di dunia."

Sticky Notes: Past Midnight CupcakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang