[[♠]]
Sejenak, ia bersitatap dengan iris biru laut yang menatap lurus ke arahnya. "Siapa?"
"Aku yang telah memindah jiwamu ke tubuh gadis itu, pertemuan kita hanya sekali terjadi, jadi aku akan menjelaskan semuanya dengan cepat," ujar gadis bermata biru yang mengenakan topeng itu.
Refa terdiam, lebih terpana akan sosok anggun itu daripada pada pembicaraan mereka. Ia pun hanya mengangguk kecil. "Oke," singkatnya.
"Tolong dengarkan baik-baik. Perpindahan jiwamu berbeda dengan yang lainya, karena Jeva adalah salah satu keturunan seorang penyembah setan aku tak bisa langsung menarik dan menghilangkan jiwanya begitu saja."
"Eh?" Refa tertegun sejenak. "Penyembah setan!?"
Gadis bermata biru itu mengangguk. "Benar, dan itu tak terhindarkan. Singkatnya ada sebuah keluarga yang dari nenek moyang hingga keturunannya adalah penyembah setan, namun karena Jeva ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil ia tak mengikuti adat itu,"
"Namun tetap saja, terdapat unsur magis yang tak bisa dilawan olehku. Tugasku hanya menukar jiwa seseorang yang memiliki kehidupan malang." Gadis bermata biru itu menatap Refa dengan tatapan kosong.
Anggukan kecil Refa berikan, ia memahami sebagian cerita yang orang itu ucapkan. "Walau gak terima, but okay. Bukan berarti gue mau nolongin Jeva ya!? Gue cuma ngikutin alur aja," jawab Refa, tak mau dianggap Super Hero.
Gadis bermata biru itupun menatap datar Jeva. "Hm, terserah. Satu hal yang perlu Kamu tahu, kamu tak bisa kembali ke tubuh aslimu, tubuh itu sudah hancur. Dan tubuh Jeva akan menjadi tubuhmu selamanya, namun sesekali jiwa Jeva mungkin akan tiba-tiba merasuki tubuh itu kembali. Membutuhkan waktu untuk aku mengendalikan sepenuhnya jiwanya."
Mendengar hal itu Refa terdiam sejenak, merasa tak yakin jika dirinya bisa menghadapi hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi padanya, secara tubuh yang ia tempati bukanlah sembarang tubuh, melainkan tubuh seorang kriminal.
"Tugasmu hanya bertahan hidup dan singkirkan semua yang kiranya mengancam keselamatanmu. Waktuku hanya sebentar di sini, kalau begitu aku pergi dulu." Gadis itu berbalik, tak lama bulir bulir cahaya yang menerangi mereka mulai menghilang dan tubuh gadis itu perlahan menghilang.
"Ok," singkat Refa. Ia hanya diam melihat tubuh anggun yang mulai berubah menjadi abu. Seolah tak ada hal yang perlu ia tanyakan padahal tengah banyak sekali pertanyaan hinggap di pikirannya.
"Huftt udahlah, namanya juga hidup. Tinggal mulai dari nol kan," gumam Jeva. Meski tak terima raga yang telah ia bangun dengan susah payah tak bisa ia tempati lagi, namun ia juga tak bisa melawan takdir itu.
Dada gue sesek euyy! batin Refa. Ia memegang dadanya, merasa sakit hati atas kehilangan tubuh aslinya yang terbilang estetik, dan ia malah diberi tubuh baru yang seperti buku gambar, sudah banyak tatto-nya, kerempeng pula. "Kit ati gue."
Tak lama sebuah cahaya muncul entah darimana, Refa pun langsung memejamkan matanya karena silau hingga tak lama terdengar suara seorang pria yang tampak tengah meneriakinya.
"HEI! BANGUN!" Pria itu menepuk-nepuk pipi Jeva agak kasar.
Membuat sang empu mengambil kesadarannya dengan terpaksa,Jeva menepis tangan yang menyentuhnya. "Mhm~" Ia mengerang malas, tangannya mengucek mata yang terasa berat untuk terbuka.
"Sudah bangun," lapor pria berseragam sipir tersebut. Ia berdiri lalu melangkah mundur keluar dari sel.
Jeva pun membuka matanya sedikit, melihat di mana dirinya tengah berada. "Lah kok gue di sini?" gumamnya kebingungan. Ia menatap beberapa pria berseragam yang menjulang tinggi di depan sel kecilnya.
"Beneran nih anaknya Mikhael?" ucap seorang sipir yang tengah merokok. Menatap datar gadis yang tengah berbaring di lantai dengan kaki terangkat menyender di jeruji besi. Netra pria itu menatap tatto bergambar ular putih yang seolah melilit di kaki kiri Jeva.
Jeva terdiam sejenak, ia mendadak bingung, kenapa dirinya berada di sini? seingatnya ia sedang mencoba melawan Gerion saat ia dikurung di gudang. Kakinya pun ia turunkan, lalu dengan kesulitan ia mencoba bangkit dari berbaringnya, sungguh sempit tempat ini hingga untuk berbaring saja bahkan tak bisa.
Namun baru saja ia mendudukkan diri, sebuah ingatan mendadak memaksa masuk ke dalam kepalanya. Rahang Jeva langsung mengetat menahan rasa sakit itu, ia memegangi kepalanya. "Sial ...."
Sipir yang tengah memegang rokok itupun menatap heran Jeva yang tiba-tiba memegang kepala. Asap rokok ia hembuskan sebelum melangkah masuk ke dalam sel itu.
Sepersekian detik ingatan apa yang tadi malam telah terjadi masuk ke dalam kepala Jeva. Bak sebuah DVD adegan adegan mulai melintas dengan amat cepat di otaknya.
"Gila, gila, dia psikopat," gerutunya saat ingatan tersebut berputar di kepalanya.
"Hoi, sinting, berdiri." Sipir itu berdiri menjulang di samping Jeva yang masih terduduk di lantai dengan kepala tertunduk karena pusing.
Mendengar interupsi itu Jeva mengangguk pelan, ia berpegangan jeruji di sampingnya lalu mulai mendorong tubuhnya untuk berdiri.
Pria berseragam sipir itupun menatap gadis di depannya, dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Kenapa dia bisa masuk ke tempat ini?" tanya pria tersebut pada sipir di belakangnya.
"Dia membunuh salah satu tahanan di sini pak," ucap salah seorang sipir dengan sikap tegaknya.
Jari-jari tangan pria itupun menyentuh dagu Jeva, mengangkat wajah gadis itu untuk menatap matanya. "Terlalu gegabah, kamu pasti menghambat pekerjaannya."
Jeva pun terpaksa mendongak, menatap wajah datar pria yang lebih tinggi beberapa cm darinya itu. "Mereka yang-"
"Tetap saja, kamu menghambat pekerjaan. Berapa lama kamu di sini?" Pria itu menurunkan jarinya, mengelapnya jarinya ke baju yang ia kenakan, lantas kembali menatap Jeva.
"Satu bulan."
"Bodoh, bisa-bisanya dia mungut anak kayak gini." Pria itu menghisap rokoknya lalu berbalik, keluar dari sel itu dan langsung melangkah pergi entah ke mana.
Klek! Glek!
Pintu sel kembali di tutup, sepiring makanan pun didorong masuk lewat lubang persegi panjang yang tersedia di bagian bawah jeruji itu. Setelahnya para sipir segera mengikuti arah pria tadi pergi.
Pandangan Jeva pun menatap makanan yang tergeletak di lantai itu, ia kembali duduk lalu mengambil piring plastik tersebut.
"Lo kenal mereka?" tanya gadis berambut cokelat yang tengah duduk di sel-nya sendiri sembari makan, sedari tadi ia hanya diam menatap penasaran apa yang tengah terjadi.
Jeva menoleh, menatap gadis berambut cokelat itu. "Mereka sipir," jawabnya lalu kembali menatap piring, mengambil sendoknya dan mulai makan.
Gadis berambut cokelat itupun menatap Jeva yang tampak tak terlalu peduli atu mungkin lebih tepatnya tak tahu apa yang tengah terjadi. "Sinting," lirihnya.
****
"Woi! Mana si Mikha?" Seorang sipir menerobos masuk ke dalam salah sebuah sel yang berisi beberapa orang pria.
Sang empu yang merasa namanya di panggil pun langsung menoleh. "Loh, Bang Lios, kok di sini?" ucapnya, lelaki berambut blonde yang memiliki tatto ular putih di tengkuknya, tengah tengkurap dengan seseorang yang memijit dirinya.
"Heh bocah, Lo bisa ngontrol anak buah Lo gak sih!? Udah tau bisnis kita lagi ambruk, kalian malah bikin masalah! Lo pikir anak buah Lo seberapa banyak sampe bisa biarin mereka bebas hah!?" marah pria berseragam sipir yang dipanggil Lios itu.
Dengan raut polos Mikhael pun hanya berkedip. "Hah?"
[[TBC]]
Note:
Gue makin hari makin males nulis tauu~😴
Jujur, soalnya hobi gue bukan nulis -_-
Gue aja heran kenapa gue milih nulis//VOTEE DULU MAMANG!//
//VOTEEEEE!//
KAMU SEDANG MEMBACA
SICK ROAD [END]
RandomRefa terkekeh miris melihat pemandangan di depannya, puluhan orang berseragam Oren yang tengah makan siang, pula dengan penjaga berseragam polisi di setiap sudut tempat itu. "Gak, harusnya gue mati setelah ditabrak truk, tapi apa-apaan tempat ini." ...