[[♠]]
Dengan raut polos Mikhael pun hanya berkedip. "Hah?"
Melihat Mikhael yang malah sok polos seketika pria berseragam sipir itupun semakin naik darah. "Anj*ng Lo!"
Mikhael pun bangkit dari berbaring-nya, ia mendudukkan diri di kasur lantainya. "Maksud abang apa? Siapa yang bikin masalah?"
"Lo lah! Paham gak sih keadaan kita itu lagi krisis, dan anak buah Lo malah ngurang! 4 kurir Lo yang udah masuk ke ruang itu bulan ini!"
Mikhael berkedip lagi, mencoba memproses ucapan pria bernama Helios itu. "Ohh yang ituu, Itu hadiah buat bang Lios. Soalnya mereka gak cocok kerja di lapas," ucapnya berdasarkan fakta.
Terdiam, tangan pria berseragam itu mengepal.
Bugh!
Buku jarinya pun memerah setelah memukul kuat wajah Mikhael. Ia pun menekuk lututnya, berjongkok di hadapan Mikhael yang masih terkejut, perih ia rasakan di sudut bibinya yang robek.
"Hadiah Lo bilang?" Tangan Helios lantas meraih rambut Mikhael, ia tarik rambut blonde itu hingga sangat empu mendongak paksa. "Gak butuh hadiah gue, butuhnya target bulanan Lo anj*ng," sarkasnya, ia hempaskan kepala Mikhael hingga kepala anak itu menghantam tembok di belakang.
Terpentuk tembok yang keras tentu membuat anak lelaki itu meringis kesakitan, ia mengusap kepalanya yang mungkin sudah benjol. Namun tak ada ekspresi yang menggambarkan ketakutan di wajahnya. "Sialan ...," gerutu Mikhael kesal.
Rahang Helios mengeras, namun tak mau membuang-buang waktu ia memilih berdiri. "Awas aja kalau bulan ini gak bisa menuhin target lagi," ancamannya terdengar serius. Setelahnya pria itupun membalikkan badan dan melangkahkan kaki besarnya meninggalkan sel tersebut, di ikuti beberapa sipir lainnya yang ikut pergi setelah menutup pintu sel.
Di sisi lain, para napi yang tengah di ruangan itu hanya mematung setelah melihat kejadian tadi. Mikhael, orang yang sangat mereka hormati bahkan takuti bisa diperlakukan seperti itu? Mereka hanya bisa menundukkan kepala, berharap Mikhael tak melampiaskan amarahnya pada mereka.
"Mentang-mentang umurnya lebih tua jadi sok keras banget depan gue," kesal Mikhael, ia mengerucutkan bibirnya masih mengelus-elus kepalanya yang sudah terasa benjolnya.
Mikhael pun berdiri, membuat para napi di ruangan itu langsung meneguk ludah kasar. Mikhael berjalan menuju sudut ruangan, tempat sebuah meja dengan beberapa laci terletak. Tangan anak itu terulur, membuka laci paling atas meja tersebut.
Suasana langsung menegang, atmosfer ruangan terasa tak seperti biasanya.
Mikhael mengambil sesuatu, setelahnya ia tutup laci tersebut. Ia pun berbalik, jari-jarinya fokus berkutik untuk membuka bungkus lolipop di tangannya. Setelahnya langsung ia taruh lolipop tersebut di dalam mulutnya, membuat para napi di ruangan langsung merasa lega.
Tatapan anak lelaki itupun tampak menggambarkan dendam yang mendalam, namun ia hanya memasang wajah tenang.
****
"Bosen bosen bosen bosen, gue bosen, sialan," gerutu gadis berambut cokelat yang sel nya berada di samping sel Jeva. Ia berbaring di lantai dengan kaki terangkat, bersender di jeruji sel.
Sementara Jeva saat ini ia tengah mencoba tenang, ia menyilangkan kedua kakinya, duduk tegak, dengan kedua tangan yang bertumpu di atas lutut serta mata yang terpejam.
Di sel lainnya pun tak jauh berbeda, ada yang tengah tidur di lantai, bersandar di jeruji sembari termenung, bahkan ada yang mencoba memanjat jeruji sel karena otaknya yang sudah tak berfungsi, hal itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi napi yang sering keluar masuk tempat ini.
Meski tampak ramai, namun saling berkomunikasi adalah hal yang sulit, tak saling mengenal serta antisosial membuat mereka memilih diam.
Bak seekor hewan, mereka hanya bisa diam di kandang dan makan saat sudah waktunya.
Rasanya otak Jeva sudah mau meledak karena bingung ingin melalukan apa, padahal ini baru hari kedua.
Hari-hari terus berlalu seperti itu, tiada hari tanpa rasa bosan, hingga beberapa dari mereka memutuskan untuk saling mengobrol satu sama lain. Namun masih juga yang malah semakin stres, bahkan ada yang sampai berteriak-teriak sembari menjambak diri sendiri atau menghantamkan kepalanya sendiri ke dinding. Yang tentunya membuat para sipir langsung datang untuk menangani keributan tersebut.
Pemandangan yang mengerikan, kini Jeva mengerti mengapa ada bercak darah di temboknya. Berusaha mengabaikan hal itu, Jeva memejamkan matanya, melanjutkan bertahan dalam posisinya, kedua lengannya bertumpu di lantai membentuk segitiga serta kedua kakinya yang terangkat ke atas agak ke belakang.
Membuat gadis berambut coklat yang di ketahui bernama Lexa itu terpelongo, Jeva sudah cukup dekat dengan gadis itu, meski masih canggung terkadang mereka bisa mengobrol satu sama lain.
Kini sudah terhitung 3 Minggu lebih sejak Jeva masuk ke sel hukuman ini, bisa dibilang dirinya juga hampir ikut stres, beruntung masih ada Lexa yang bisa diajak ngobrol.
Malamnya, seperti biasa, mereka diberi makan malam setelahnya ditinggal pergi oleh para sipir lagi.
"Fix nih sipir gak setia, suka banget gosthing kita," ucap Lexa sembari menjejalkan makanan ke dalam mulutnya.
Jeva pun hanya mengedikan bahu acuh, sudah terbiasa, terbiasa dengan kelakuan Lexa yang tak sesuai dengan penampilan kalemnya. Padahal jika diam Lexa sudah seperti orang bener, tapi jika melihat kelakuanya ... Tak jauh beda dengan emak-emak kompleks.
"Lo dihukum berapa hari?" tanya Jeva, ia menyendok makanannya lalu memasukannya ke dalam mulut sembari menatap Lexa.
"4 Minggu," sahut Lexa.
Jeva terdiam sejenak, menghitung 4 Minggu itu berapa lama. "Ohh sebulan ... lama juga, turut berdukacita," ucap Jeva.
"Hm, ngenes banget hidup gue emang." Lexa pun mengelap bagian luar lubang hidungnya yang terkena sambal dari makanannya, soalnya mereka hanya diberi lauk daun singkong yang direbus lalu dicocol sambal serta 2 tempe goreng.
"Masalah apa emang yang Lo lakuin?" Jeva mengernyit kasihan saat melihat Lexa yang terkena sambal di hidungnya.
"Masalah sama tante-tante pirang yang ngeselin, gue tendang kepalanya, terus tiba-tiba dia langsung roboh and mimisan, alay banget," ucap Lexa sembari mengusap-usapkan punggung tangannya ke lubang hidung yang terasa panas.
Jeva pun mengangguk-angguk paham, ia menoleh menatap ke arah lain karena tahu apa yang akan keluar dari hidung Lexa.
Cairan bening yang kental, Lexa mengelapnya menggunakan bajunya, hidungnya terasa panas hingga rasanya ia ingin menangis. "Anj*ng ini gimana woy!?"
Jeva hanya mengedikan bahunya, berpura-pura tak melihat. "Gak tau." Pandangannya pun menatap ke arah lain.
****
Satu bulan berlalu, Jeva yang sudah menghitung hari secara manual pun menjadi semakin gila menunggu waktu untuk keluar dari kandang manusia ini. Namun berusaha menenangkan diri, ia memilih duduk bersila, memejamkan mata, serta menaruh kedua punggung tangannya di atas lutut, ia terus-menerus mencoba menenangkan pikirannya meski terus terdengar teriakan-teriakan salah satu orang gila di sini.
Begitupun dengan Lexa, yang mengikuti Jeva duduk bersemedi untuk tetap tenang dan sabar. Ia memejamkan matanya, menfokuskan pikirannya yang terus membayangkan bisa keluar sekalian dari lapas hari ini meski hal itu mustahil.
Cklek!
Mata kedua gadis itu terbuka kala mendengar suara pintu yang dibuka oleh seseorang.
"Met pagi para sampah masyarakat," ucap Helios, ia melangkah masuk sembari membawa beberapa borgol di tangannya.
[[TBC]]
Note:
1 2 bunga raya, taun depan aku kaya😌(*pantun)
//VOTEEE DULU YA SENGG!//
//VOTEE VOTEEEEEEEE!!//
KAMU SEDANG MEMBACA
SICK ROAD [END]
AcakRefa terkekeh miris melihat pemandangan di depannya, puluhan orang berseragam Oren yang tengah makan siang, pula dengan penjaga berseragam polisi di setiap sudut tempat itu. "Gak, harusnya gue mati setelah ditabrak truk, tapi apa-apaan tempat ini." ...