Di salah satu kota Jawa Timur terdapat kampoeng koerawa yang isinya rata-rata kebanyakan penghuninya laki-laki. Memang kenapa? Karena rata-rata lelaki disana pengangguran, kuli, ada yang ditinggal istri kerja keluar negri, dan perjaka.
Letak kampungnya ditengah kota yang padat serta jalan yang sempit. Bahkan mobil tidak dapat masuk ke dalam kampung tersebut karena saking sempitnya jalannya. Lagipula siapa juga yang akan memiliki mobil jika rumahnya di perkampungan sempit nan padat seperti itu?
Saking padatnya, rumah-rumah di kampoeng kurawa tidak memiliki jarak antar rumah dengan rumah samping seperti gang samping. Rata-rata dinding mereka saling berdempetan dan jarak jalan dengan rumah didepannya hanya kurang lebih satu meter.
Yang paling ikonik disana, rumah warna kuning paling pojok berukuran enam kali enam luas bangunannya di pertigaan ditinggali lima bersaudara laki-laki yang memiliki nama belakang pandawa.
Di depan rumah pandawa terdapat warung jualan sesuai mood sekaligus rumah yang kurang lebih berukuran enam kali lima diisi tiga wanita bersaudara dan satu anak perempuan dari wanita tersebut berusia sebelas tahun. Mengapa jualan sesuai mood? Karena tiap hari ganti menu jualannya, menyesuaikan mood sang penjual sampai terkenal ke kampung tetangga.
Rumah sekaligus warung sesuai mood yang berpenghuni tanpa laki-laki ditengah pemukiman pria juga menjadi ikon kampoeng koerawa disana. Bahkan ada yang menyebutnya rumah drupadi.
"Mama mau uang jajan," pinta gadis berseragam sd memiliki tinggi seperti anak SMP kelas tiga kepada sang ibu yang sedang menyiapkan dagangan di warung depan rumah.
"Minta mbak yu sek. Mama belum ada uang, uangnya buat kulakan cingur."
"Emang piro sangune?" [Emang berapa uang sakunya?] sahut laki-laki dari pintu samping rumah yang menghadap ke warungnya.
Salma mendengus malas dengan laki-laki yang selalu mendekati ibunya tanpa kepastian—anak kedua dari pandawa. "Ora usah pinjem duek ke de'e ma! Aku ora odis." [Gak usah pinjem uang ke dia ma! Aku gak sudi]
"Nggak kok, minta mbak yu Ning dulu di dalem." jawab wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu.
"Yu Ning minta sangu." pintanya pada kakak ibunya yang bersiap-siap akan bekerja.
"Piro? Mbak yu belum gajian, jadi bisanya ngasih sepuluh ribu." [Piro = Berapa] kata Ningsih memberikan selembar uang berwarna ungu kepada keponakannya itu.
"Makasih Yu ning, mwach." Salma mencium pipi Ningsih lalu berpamitan, "Aku berangkat dulu," katanya.
"Sal, aku berangkat dulu. Pulangnya nanti malem jadi aku bawa kunci cadangan." kata Ningsih mengeluarkan motor revonya dari dalam rumah.
"Iya mbak ati-ati." jawab Salsabila.
"Mbak yu! Bau gosong!" suara teriakkan Nurul—adiknya dari loteng rumahnya.
Nurul yang tengah merokok di loteng buru-buru turun tangga yang langsung kearea dapur terdapat asap mengepul di salah satu wajan dengan kompor menyala dibawahnya. Ia mematikan kompornya lalu reflek menyiram air dari kamar mandi ke dalam wajan panas tersebut.
Klontang!
Bukannya tambah padam, malah wajan tersebut jatuh menbeluarkan api. "Makne ancok! Kobongan!" [Bangsat! Kebakaran!] serunya berlari ke depan rumahnya.
"Mbk Yu kobongan!" serunya pada Salsabila yang tengah bergibah dengan salah satu personil pandawa.
Salsabila kaget lalu masuk ke dalam rumahnya diikuti pria yang mengajaknya berbicara di pagi hari. "Kobongan lur!" seruan anak terakhir pandawa yang melihat asap dibagian loteng depan rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
KAMPOENG KOERAWA
Fanfic[END] Kampoeng Koerawa-salah satu kampung pemukiman padat dan rata-rata isinya kaum adam berada di dalah satu kota daerah Jawa Timur. Lalu ditengah-tengah kampoeng tersebut terdapat janda muda, cantik, memiliki satu anak, dan menjadi kembang kampoen...