○ KAMPOENG KOERAWA 17 ●

277 48 131
                                    

Oek~ oek~

Selalu di tengah malam putra Salsabila akan menangis. Salsabila terbangun dari tidurnya tuk menimang putranya yang usianya enam puluh hari. "Oalah lé kok mesti rewel lék tengah wêngi." ucapnya sambil mengelus-elus dahi putranya.

Putranya makin menangis sampai muntah susu, gumoh.

Salsabila membawa keluar kamar putranya, ia menaikki tangga rumah lamanya. "Anak ganteng, anake sopo?" hiburnya pada putranya.

"Akhwi!" pekik putranya diiringi tangisan.

"Wadoh bantere lèk nangis," [Waduh kerasnya kalau nangis] ucap Nurul keluar kamarnya dengan rambut singa.

"Laiyo iku Rul," ucap Salsabila mencoba menyusui Daren namun ditolak oleh putranya itu.

"Kangen ayahe paling." tebak-tebak Nurul.

"Ayahe di kuburan, mosok iyo aku ke kuburan tengah wengi ngene iki." balas Salsabila.

"Papah Dwi maksude. Kan lèk digendong Papah Dwi langsung anteng."

"Nggilani rul mas Dwi diceluk papah Dwi," [Diceluk = dipanggil] kata Salsabila.

"Papah Dwi," panggil Nurul membuka pintu loteng rumah mereka.

Ternya di loteng rumah Pandawa terdapat Dwiko tengah merokok sambil bertelepon dengan seseorang di tengah malam. "Pah!" serunya, "Papah Dwiko sing eling toh!"

"Pah, pah, pah, jancok dikiro sepah opo." ucap Dwiko mematikan panggilannya.

"Sibuk banget si pah. Nelpon siapa ciii?" tanya genit Nurul.

"Konco dari Surabaya."

"Wih konco seng mening-mening koyok turis wingi?!" [Wih temen yang bening-bening kayak turis kemarin]

"Hooh. Aku kiro awale yo turis tibake pribumi asli mek beda kasta."

"Njaluk nomer age." [Minta nomernya ayo] pinta Nurul.

"Wes gak usah. Ojok golek maut."

Oek~ oek~

"Gembeng teros." [Nangisan teros] ucap Dwiko melihat Salsabila membawa Daren keluar loteng.

"Anak mu ki pah piye toh," [Anak mu ji pah gimana toh] ucap Salsabila membuat Dwiko merinding.

Dwiko tidak menggubrisnya, ia langsung masuk ke dalam rumahnya kembali lalu menuruni tangga menuju kamarnya yang dibawah. Ia masuk ke dalam kamarnya langsung menutup wajah dan telinganya menggunakkan bantal.

Jancok.

"Kenopo seh Wi? Wong yo Salsa cuma guyon koen mesti keweden dewe," ucap Eka ditengah pintu kamarnya.

"Aku gak seneng bayi."

"Koen bien yo bayi Wi." [Kamu dulu juga bayi]

"Pokok aku ra seneng, anak iku maut." [Pokok aku gak suka, anak itu maut] ucap Dwiko.

"Mas tolong age," [Mas tolong ayo] pinta Salsabila datang dengan dua koyo di pelipis keningnya.

Daren mengencangkan tangisnya sampai batuk-batuk membuat Dwiko reflek mengumpat kata jancok karena merasa risih.

"Cobak en sek Wi, saaken Salsa yo butuh istirahat." [Coba dulu Wi, kasian Salsa ya butuh istirahat] ucap Ningsih ikutan pusing jika keponakannya terus rewel terlebih ia sedang mengandung muda lagi.

Salsabila masuk ke dalam kamar Dwiko itu lalu meletakkan putranya di sebelah Dwiko yang masih menutup wajah dan telinganya menggunakkan bantal. Tak selang lama suara tangisan Daren mereda menjadi ocehan bayi.

KAMPOENG KOERAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang