○ KAMPOENG KOERAWA 21 ●

249 41 100
                                    

"Salsa nandi?" pertanyaan pertama Dwiko saat memasuki rumah Salsabila yang terdapat Nurul di ruang tamu.

"Ke rumah sakit."

"Lapo? Ambek sopo?" [Ngapain? Sama siapa?]

"Mboh jare jenguk temen SMA e lahiran, sama Daren mereka berdua jalan ke rumah sakit dokter Sofwan Amir."

"Oh," Dwiko berohria lalu masuk ke dalam kamar Salsabila. Ia merebahkan dirinya di kamar tersebut sambil bermain hp tuk menanggapi beberapa usahanya.

"Sal tuku rujak sal!"

"Mbak Salsa metu! Dodole saiki prei!" seru Nurul dsri dalam rumah.

"Mesto nek Malem Jumat Legi saiki gak tau dodol," dumel Shinta lalu kembali pulang.

Dawiko tiba-tiba keluar kamarnya lagi, "Mbak mu stres." ucapnya membuat Nurul bingung.

"Mbak sopoi?" tanya Nurul bingung.

Dwiko terburu-buru menyusul Salsabila ke suatu tempat yang ia tahu dimana Salsabila sekarang. Ia mengendarai motornya ke suatu daerah dekat pegunungan yang terkenal akan mistic-nya di kota terssbut.

"Mas Dwi," panggil seorang wanita dengan nada lembut.

Dwiko melihat di kaca spion sepeda motornya terdapat seorang wanita cantik dan wajah berseri tengah tersenyum padanya. "Jancok!" serunya reflek membanting setirnya ke kanan hingga motornya menabrak pohon besar membuat ia terpental dua meter dari lokasi kejadian.

Brak!

Salsabila keluar dari ruangan konsultasi di rumah sakit bersama putranya. "Maafin mama ya dek." katanya sambil mengelus-elus ubun-ubun putranya.

"Gyagyagya," oceh Daren.

Salsabila mengerutkan keningnya saat melihat laki-laki yang terbaring diatas ranjang darurat didorong oleh beberapa perawat lewat di depannya. "Loh Mas Dwi!"

"Papbwah..."

○●○

"Buk kenapa nangis?" tanya salah satu penghuni kostan melihat ibu kostnya keluar kamar dengan isak tangis.

"Gakpapa, saya sedih temen saya diguna-guna temennya sendiri."

"Emang masih ada ya jamannya guna-guna bu?"

"Banyak. Apalagi di kampoeng koerawa ini, jangan sangka tempatnya di tengah kota tapi penghuninya pada punya pegangan."

"Pegangan maksudnya?"

"Ya pegangan kayak ilmu gitu. Suami saya dulu meninggal juga disantet pesaingnya kalau secara mistisnya."

"Kok ibu bisa tau? Emang ada buktinya bu?"

Salsabila mengendikkan bahunya entah. "Firasat aja sih."

"Oh," penghuni kost hanya berohria, lalu Salsabila mengganti bunga sedap malamnya yang sudah mulai layu.

Setelah ia membersihkan kosta-nnya ia kembali pulang tuk merawat Dwiko yang tulang betis kanannya retak mengharuskan kakinya itu di gips dan dua anaknya yang butyh perhatian. Sudah seperti istri dan ibu rumah tangga yang berbakti bukan?

Dwiko masih bungkam dengan rasa curiganya pada Salsabila, terlebih ia baru saja kecelakaan. Lebih tepatnya ia tidak ingin berdebat terlebih dahulu dengan Salsabila.

Dwiko memangku Daren yang kini sudah dapat duduk tegap, bocah kecil itu sangat clingy pada Dwiko. Padahal biasanya anak laki-laki akan dekat sang ibu, ini malah dekat dengan lelaki pujaan hati sang ibu.

"Iki maem e, aku tak ngurus Aiden sek." ucap Ningsih menyodorkan mangkok berisi bubur kepada Dwiko.

"Iya mbak makasih," Dwiko menyendokkkan bubur tersebut tuk dimakan oleh Daren.

KAMPOENG KOERAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang