○ KAMPOENG KOERAWA 22 ●

334 42 97
                                    

"Surat persetujuan aborsi atas nama Ny. Salsabila," ucap Dwiko membaca kertas gorengan yang ia beli dari warung Narmi—tetangganya.

"Mosok Salsabila Angel Semok?" Monolognya berpikir.

"Tapi seng jenenge Salsabila iki okeh," [Tapi yang namanya Salsabila ini banyak]

"Tapi tanggale kok pas ambek aku kecelakaan?" monolognya makin bingung.

"Bukane Nurul jare seng aborsi?"

"Mas, aku bikin nasi pecel buat bumbu sendiri." ucap Salsabila tiba-tiba masuk kamar Dwiko.

"Aku wes wareg, kasihno Tri ae." [Aku udah kenyang, kasih ke Tri aja] balas Dwiko mencobs berjalan dengan satu kaki yang di gips keluar kamar.

Salsabila mendengus, ia menghela nafas panjang meletakkan makanan tersebut diatas meja kamar Dwiko. "Mas mau kemana seh?" tanyanya mencoba membantu Dwiko berjalan.

"Nang ruang tamu mau nonton tv, bosen dnde kamaf terus."

Dwiko pun duduk di kursi ruang tamu yang berbahan kayu. "Kamu jualan opo dino iki?"

"Jual susu ke kamu," jawab Salsabila.

"Hah?"

"Mas minta uange buat biaya ke psikolog."

"Sopo gendeng?"

"Guduk gendeng! Kata suster di rumah sakit, mental Salma rodok keganggu kudu dibawa ke psikolog. Terus aku dikasih rekom dari suster, psikolog seng apik nde Malang sekali konsul bayar limang atus sewu eh." [Guduk = bukan, rodok = agak]

"Tenan a? Moro kamu diakali." [Beneran a? Tiba-tib kamu diakali]

"Wes tak chat psikolog e dari google katae beneran eh, nanti psikolog e dsteng ke rumah habis di dp dua ratus ribu."

"Kok koyok mencurigakan ngunu," ujar Dwiko merogoh saku celananya tuk mengambil hp, lalu ia menyodorkan hp-nya kepada Salsabila. "Iki tf-en dewe."

"Pin e mas?"

"Koyok biasane," jawab Dwiko tidak mau ribet.

Salsabila membuka m-bangking milik Dwiko tuk mentransfer uang dp ke psikolog terpercaya supaya putrinya dapat sembuh total dari kelemahan mental dari putrinya. "Mas uang mu wes banyak gini." katanya tiba-tiba.

"Terus?"

"Yo kamu ndak onok niat nikah mosok?"

"Kost-kostan wes punya juga, bisa ngadain resepsi yang guede banget."

"Emoh, aku introvert." tolak Dwiko.

"Terus belum nemu jodohe juga," sambungnya.

"Belum nemu jodohe?" tanya Salsabila terkejut dengan mata terbelalak.

Dwiko tersenyum sambil menganggukkan kepalanya iya, ia suka melihat wajah terkejut Salsabila yang terlihat polos-polos campur emosi. "Iya kan lek durung onok jodohe yo gak rabi noh." [Lek = kalau, durung = belum, rabi = nikah]

"Mas!" sentaknya dengan nada kesal.

"Dalem sayanggggggggg," jawab Dwiko memanjangkan akhir kalimatnya.

"Kamu gak mau ngerabi aku tah?"

Dwiko menyentil dahi Salsabila hingga sang pemilik dahi mengeluh, "Sing eling toh Sal, cak Bagoes belum ada setahun kamu wes kebelet rabi sama aku."

"Kenopo gelem rabi karo cak Bagoes nek kebelet rabi karo aku?"

"Gapopo mas, aku pengen nyoba karo pria matang seng serius."

"Tapi kenopo kok mbok pateni?"

Kening Salsabila mengerut, "Maksud e piye toh mas?"

"Awakmu kan janda maut."

KAMPOENG KOERAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang