17

268 37 5
                                    

Suasana pesta pernikahan orang tua Jean nampak terlihat sangat mewah yang di selenggarakan di ballroom hotel. Banyak tamu-tamu berdatangan dari kalangan pembisnis yang setara dengan ayahnya. Dan sesekali juga, Galih memperkenalkan Jean dengan mereka bahwa ia yang akan menjadi penerusnya kelak.

Jean hanya pasrah meskipun hatinya di rundung kekecewaan yang teramat dalam pada Galih. Dimana paruh baya itu hanya mementingkan kesenangan pribadinya, tanpa mengerti perasaannya saat ia menikahi seorang wanita yang jelas-jelas menjadi perusak di antara keduanya.

Hal itu tentu menimbulkan rasa yang tidak dapat di jabarkan oleh Jean. Marah dan rasa tertekan bercampur menjadi satu. Selama ini ia mencoba mempertahankan pernikahan Galih dan Celine dengan susah payah, berharap kedua orang tuanya itu kembali harmonis dan melihat Jean serta Rami kembali. Tapi apa daya?. Galih sudah mengikuti nafsunya untuk tetap menikahi Dara, istri barunya sekarang. Yang membuat Celine muak dan memilih untuk mengikuti jalan hidupnya juga yang sekarang. Menelantarkan kedua anaknya, hanya untuk kepentingan pribadinya.

"Kak..".

Jean menoleh mendapati Rami yang kini berdiri di sampingnya. Dia terlihat cantik dengan kebaya berwarna baby blue membalut tubuhnya, dan itu juga senada dengan jas yang di kenakan oleh Jean saat ini. Namun, tatapan Jean hanya terpacu dengan tatapan mata Rami yang kini menggenangkan air mata.

"Ada apa?". Tanya Jean memegang pundak kanan adiknya.

"Pulang aja yuk..". Ajak Rami dengan suara pelan.

Jean terdiam sebentar, ia menatap sekitar. Bisa di lihat suasana benar-benar sangat ramai, tamu masih banyak yang baru berdatangan. Lantas, ia menghela nafasnya perlahan-lahan.

"Lo ngerasa di asingin di sini?". Tanya Jean lagi, membuat Rami ragu-ragu mengangguk.

"Aku takut kak. Lihat papa bahagia banget sama tante Dara". Ucap Rami, dengan ekor matanya yang melirik melihat senyum merekah keduanya di atas pelaminan. "bayangan hari-hari yang buruk terlintas di pikiran aku. Dan itu akan menjadi sebuah hal yang baru buat aku, yang sampai saat ini belum aku persiapkan buat ikhlas menerima semuanya".

Hati Jean terasa teriris ketika Rami mengungkapkan kegundahan hatinya. Selama ini, dia memang bukan sosok kakak yang baik dan terlihat cuek pada adiknya. Dia juga bukan sosok kakak yang jahat, hanya saja Jean berjalan di belakang Rami, memastikan adiknya itu tidak kenapa-kenapa dari belakangnya.

"Lo khawatir akan itu?".

Rami mengangguk lagi.

"Gue gak akan biarin itu terjadi sama lo Ram. Lo satu-satunya keluarga yang gue punya sekarang. Emang untuk saat ini harusnya kita bahagia atas kelengkapan keluarga kita yang baru, tapi sama sekali gak ada kebahagiaan dan justru semakin membuat kita makin terluka. Mama boleh ninggalin kita dan udah gak anggap kita anaknya, tapi lo jangan pernah merasa sendiri atas pernikahan papa dan tante Dara karena mereka memperkenalkan di depan umum hanya untuk nama baiknya. Lo masih ada gue, kalo lo perlu pijakan. Lo juga punya gue saat lo butuh pelukan. Sebenernya gue juga terpaksa ikut papa, saat gue tahu ternyata lo di jemput paksa dia. Makanya, gue turutin kemauannnya karena gue mau jaga lo dari wanita ular itu".

Rami terdiam, air matanya kini sudah meluruh di pipinya. Benar yang di ungkapkan oleh Jean, Dara hanya terlihat manis saat di depan Galih saja. Bayangan akan ibu tiri yang jahat, nampaknya sudah mulai terlihat dari sosok Dara saat memperlakukan Rami. Dia terus mendapat kritik, bahkan sinisan ketika menghabiskan waktu bersama saat fitting baju pernikahan. Namun, Dara menjadi manis saat Galih di antara mereka. Dan itu semua sudah Jean ketahui dengan kelicikan yang di lakukan Dara hanyalah merebut hati Galih saja.

Tanpa lama lagi, Jean pun langsung menggandeng tangan Rami untuk meninggalkan pesta pernikahan itu. Tidak peduli jika nanti Galih akan murka karena tidak ada kehadiran kedua anaknya itu lagi di tengah-tengah kebahagiaannya. Langkah Jean dan Rami sempat terhenti karena terjadi kekacauan di sana, mungkin kecelakaan kecil saja dan Jean tidak ambil pusing untuk mengetahui penyebabnya. Ia lantas melanjutkan langkahnya untuk mengantarkan Rami ke rumah.

——

Sesampainya di rumah, Jean memarkirkan mobilnya di garasi dan menyuruh Rami untuk berisitirahat. Bagaimana pun juga, adiknya itu nampak sangat lelah dengan isi pikiran yang membuatnya akan ketakutan dan kekhawatiran. Jean tidak mau, kalau itu semua akan mempengaruhi mental Rami.

Biarkan saja beban itu hanya Jean yang menanggungnya.

Setelah mengantar Rami ke kamarnya, Jean memutuskan untuk berdiam diri sejenak di atas balkon kamarnya. Pikirannya benar-benar sangat kacau, ia hanya mengacak rambutnya dengan kasar dan sesekali mengusap wajahnya dengan gusar.

Tapi pergerakannya itu terhenti ketika mendapati seorang gadis yang juga duduk terdiam di atas balkon kamarnya. Tepat di samping rumahnya dengan jarak yang hanya di batasi oleh tembok pembatas.

Ia memandanginya cukup lama dalam diam. Jean terhenyak sesaat mendapati gadis itu tiba-tiba lari tergopoh-gopoh masuk ke kamarnya. Dan tak lama samar-samar ia juga mendengar pekikan seorang wanita yang menangis berasal dari rumah itu.

Tanpa berpikir panjang, Jean pun segera berlari berniat untuk mengecek apa yang terjadi. Dan tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak, tentang Ruka.

Suara pekikan serta tangis yang mampu membuat hati Jean teriris semakin terdengar dengan jelas. Terlebih ia juga mengenal suara teriakan meminta pengampunan itu semakin membuatnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumah Ruka.

Matanya membulat, melihat rumah yang sudah berantakan dengan barang-barang yang sudah tidak utuh berserakan di mana-mana. Apa lagi yang terjadi dengan Ruka?. Ia segera mencari keberadaan gadis itu.

"RUKA!".

Jean menghampiri gadis itu yang kini berada di pelukan seorang wanita paruh baya. Di lihat wanita itu juga menangis sejadi-jadinya kini beralih menatap Jean. Jean terdiam sesaat, jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat kondisi Ruka yang mengenaskan. Gadis itu terluka parah, darah mengalir dari dahinya dan ia juga sudah tak sadarkan diri.

"Ruka bangun Ruka! Buka mata lo Ruka!". Jean menepuk-nepuk pelan pipi Ruka berharap gadis itu masih dengan kesadarannya. Dengan tangan yang bergetar, Jean berusaha menghentikan darah yang terus mengalir dari dahi Ruka.

Jean merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia telat menolong Ruka?. Kenapa dia tidak segera menghampiri Ruka saat mendengar teriakan gadis itu?. Jean sungguh menyesal, dia gagal menjaga Ruka dari keluarganya yang bejat itu.

"Siapa kamu?". Tanya Jislyn dengan isak tangisnya yang terdengar memilukan.

"Saya Jean. Saya yang tinggal di samping rumah, anda. Saya mendengar terjadi keributan di rumah ini. Maka dari itu saya lancang untuk melihat apa yang terjadi?".

Jislyn membulatkan matanya. Menatap dengan jeli, laki-laki yang seumuran dengan anaknya ini dari ujung kaki hingga kepala. Melihat dengan detail, mencocokkan sesuatu yang tak dapat ia jabarkan.

"Kamu anak Galih?". Tanya Jislyn dengan suara yang bergetar.

Jean mengangguk.

"Apa yang terjadi?". Tanya Jean dengan nafas yang kini memburu.

Jislyn menggeleng, ini bukan waktunya untuk menceritakan hal ini pada Jean. Yang Jislyn tau, saat ini Ruka membutuhkan pertolongan.

"To..tolong bawa anak saya ke rumah sakit sekarang...". Ucap Jislyn memohon ke Jean.

Jean mengangguk lagi, mengangkat tubuh Ruka yang sudah pucat pasi itu dengan Jislyn yang kini memesan taksi online untuk segera membawa Ruka ke rumah sakit.

Jean tak lagi bisa berfikir jernih. Pikirannya lagi-lagi berkecamuk, membopong tubuh Ruka yang bersimbah darah ini dengan tangan yang bergetar.

"Gue mohon lo bertahan, Ruka".

Tak lama pesanan taksi online sudah tiba di depan gerbang rumah Jislyn. Dengan cepat Jean segera memasukkan tubuh Ruka ke dalam mobilnya. Jislyn duduk di sampingnya dan Jean juga turut serta di samping supir taksi untuk segera melajukan mobilnya dengan cepat.

Drrttt...

Drrttt...

"Hallo Jean? Hanin sadar..".

-Tbc-

Vote comment jangan lupa ☺️



SHINING (Kawai Ruka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang