"Nona melihatnya sendiri, semua yang ada di rumah itu mati diracun! Kalau tahu, Anda masih hidup, mereka pasti akan mengincar Anda. Pergi sejauh-jauhnya dari negeri ini ke negeri yang tidak ada satu pun orang mengenal Anda adalah yang terbaik!"
"Lalu bagaimana denganmu, Gracia?!"
"Saya akan tetap di sini, memantau situasi."
"Itu berbahaya. Kau juga bisa jadi target mereka. Kau adalah bagian dari rumah itu, dari keluargaku. Ikutlah denganku ke negeri seberang!"
"Tidak, Nona! Saya tidak bisa meninggalkan keluarga saya di sini. Sebagai gantinya, saya akan menggali informasi tentang serikat partai oposisi dan mencari tahu kebenaran kasus ini. Kalau perlu, saya akan berpura-pura menjadi bagian dari mereka."
Dini hari, di dermaga, ditawan oleh angin laut yang berhembus tak tenang dan suara ombak beradu dengan karang; dua perempuan belia terlibat percakapan serius.
"Nanti, saat situasi telah cukup aman, akan saya antarkan sejumlah barang dan uang untuk Anda. Sementara, gunakan yang ada di tas itu untuk menyewa rumah dan membeli makanan! Kalau Anda bijak, itu bisa berguna sampai tiga bulan mendatang. Tapi, seandainya itu tidak cukup, tulislah surat dan suruh seseorang mengirimkannya ke kantor penerbitan surat kabar tempat adikku bekerja."
Mereka bersipandang. Antara sepasang mata yang satu dengan yang lain seperti tak rela untuk saling meninggalkan.
Perempuan yang dipanggil dengan sebutan Gracia-lah yang pertama kali memutus tautan mata dan kemudian melepaskan genggaman erat di pergelangan kanannya. Memandang ke arah lautan, "Kapalmu datang, Nona!"
Memandang Sang Nona yang saat ini tertampil kacau dan menyedihkan, "Cepatlah naik sebelum ramai orang, sebelum berita tentang keluargamu menyebar!"
Tidak ada gerakan yang dibuat. Yang bergerak hanya bulir-bulir air mata, turun dari pelupuk kanan Sang Nona.
Maka, Gracia bergerak, meraih sebuah tas, hendak membantu mengangkutnya ketika kapal telah menepi ke dermaga, tetapi Nona-nya menahan, "Biar aku saja!"
Tas dipeluk erat. Langkah diarak. Tangisan diusap.
"Selamat jalan, Nona Ivy!"
Tiada menoleh ketika Gracia mengucap dan melambai padanya di belakang sana. Ia mantap masuk ke dalam kapal yang akan membawanya sangat jauh.
Butuh satu hari perjalanan untuknya menginjakkan kaki di tanah seberang. Dua jam menaiki kereta api untuknya sampai ke pelosok negeri. Satu jam berjalan kaki menaiki terjal jalanan pegunungan yang menanjak dan menurun untuknya pergi ke sebuah daerah minim populasi dan menemukan sebuah rumah kosong-disewakan di penghujung jalan.
Setelah membersihkan debu-debu, menata barang, dan membasuh badan, kegiatannya hanya merebah di atas dipan tanpa memejam.
Padahal matanya butuh dipejamkan, badannya butuh diistirahatkan, pikirannya butuh ditenangkan, memori kelamnya butuh dikubur pelan-pelan, dan perutnya butuh diberi asupan.
Namun, ia berlaku kejam pada dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan itu tak dipenuhi.
Ia tak tidur semalaman. Pikiran terus dibiarkan berotasi hingga ruwet. Jiwanya berkubang di dalam kabung. Dan, perutnya tak diisi nyaris dua hari.
Maka, tak aneh jika pagi itu ia ditemukan Helen dalam keadaan nyaris sekarat dengan darah yang tak berhenti mengucur dari hidung.
Kala itu, pagi-pagi sekali, di beranda, di ambang pintu rumah yang ia sewa.
"Astaga Nona?! Ya ampun, Anda berdarah! Astaga, bagaimana ini?!"
Ia yang duduk dengan menyandarkan kepala dan setengah memejamkan mata di kusen pintu buru-buru digendong oleh Helen menuju sebuah klinik kecil. Ditangani, diobati, dan diberi makan oleh Jaime, dokter di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESPEDIDA
FanfictionPagi itu, klinik kecil milik Jaime kedatangan seorang pasien; perempuan dari negeri seberang yang membuatnya penasaran.