Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pintu rumah itu telah terbuka dengan satu perempuan bersurai pirang panjang serta bergaun satin putih tulang duduk di ambangnya, ketika mentari bahkan baru menengok sedikit dari celah-celah bukit pun langit masih diliputi sisa-sisa gelap bercorak mega jingga.
Menekuk dan memeluk lutut, memandang lentera di dinding dekat tangga sana yang masih menyala.
Pergerakannya pelan; masuk ke dalam rumah, membasuh badan, memilih pakaian, menyisir dan mengikat rambut, mengantongi beberapa lembar uang, berjalan keluar, lalu mengunci pintu.
Berdiri di dekat tangga, ia menoleh pada lentera yang kini tak lagi menyala.
Sepasang sepatu dikenakan sebelum kakinya bergerak menuruni tangga, menapak di atas tanah, berikut mengarungi jalanan desa.
Klinik ditujunya.
Setelah membuka pintu, ia melihat antrian pasien cukup yang panjang, dan sang dokter tengah sibuk menangani satu. Tenang, perempuan itu duduk di atas bangku kayu panjang, di antara mereka yang mengantri.
"Pasien berikutnya!"
Pun, di kala antriannya diserobot oleh seorang laki-laki paruh baya, ia tetap tenang lalu kembali duduk.
Semua mata bersaksi atas itu, tetapi tiada mulut yang bernyali kecuali satu, "Mohon untuk bisa tertib sesuai urutan kedatangan," seraya mengoperasikan mesin tik-nya,
mengetik berita acara menyoal warga desa yang terkena diare masal setelah malam tadi bergabung dalam pesta penyambutan kedatangan wali kota.
Menekan tombol tanda baca titik dengan keras, membuat laki-laki yang telah menarik kursi di hadapannya—hendak duduk—kemudian terpaksa kembali ke tempat semula.
"Ada keluhan apa, Nona?"
Annelyn telah mengisi kursi. Diam, meraba perut.
"Anda keracunan juga?" tebak Jaime asal tanpa mengalihkan sorotnya dari kertas-kertas di meja.
"Bukan."
Jaime melirik sedikit.
Lirih, nyaris seperti berbisik, "Aku lapar."
Satu alis Jaime terangkat naik. "Nona sengaja tidak makan seperti kemarin?"
Lebih lirih lagi, "Tidak bisakah aku mendapatkan makanan dari sini?"
"Apa?"
Mustahil terdengar sebab klinik terlampau berisik.
Bersipandang sedetik, perempuan itu mencekal sudut meja lalu sedikit mencondongkan tubuh, mengulang dan menegaskan, "Tidak bisakah aku mendapat makanan dari sini lagi, seperti kemarin? Tidak gratis, aku akan bayar."
Tak ada lirikan mata. Jaime hanya bertanya, "Mengapa?" menyibukkan diri dengan kertas dan pena.
"Karena itu lezat. Aku menyukainya—makanan yang kau buat."
Kesibukan Jaime kontan teralihkan. Ia berhenti mengores pena di atas kertas, menolehkan kepala sedikit, menggeser pandangan sehingga yang nampak olehnya kini adalah pipi halus sebelum sepasang manik cokelat seketika sang pemilik turut sedikit menoleh.
Tiga detik, beradu pandang.
"Pasien berikutnya!" Jaime menyeru setelah memutus tautan mata dan mengambil jarak dari Annelyn.
Tiada bentuk penolakan maupun persetujuan yang Jaime berikan secara gamblang. Pun, Annelyn tidaklah pergi ke mana. Hanya menunggu di beranda. Duduk hingga terkantuk-kantuk.
Jaime memantau dari balik kaca jendela di sela-sela bekerja.
Lalu, setelah menangani pasien terakhir, ia memutar plang kayu di pintu sehingga dari luar terbaca tipografi tutup, padahal jam makan siang masih jauh.
Membuka jas kerja, menggulung lengan kemeja.
Membuka pintu belakang yang mengarah pada kebun bertanamkan sayur dan buah-buahan miliknya, memanen beberapa untuk dimasak.
"Nona Annelyn."
Perempuan itu terkesiap dari lelap sesaat, beranjak, buru-buru mendekat dan menghadap. "Ya?"
Cukup lama, Jaime di ambang pintu klinik hanya menatap dalam senyap wajah itu sebelum akhirnya berucap, "Makanan Anda sudah siap."
Hidangan telah tertata di meja kayu bundar kecil bertaplak teunan rotan. Berdua, menyantap dalam ketenangan.
Selesai menyantap, kantong baju dirogoh, beberapa lembar uang dikeluarkan dan diletakkan Annelyn di dekat Jaime. "Untuk makanannya."
Kursi makan ditinggalkan, pintu depan klinik nyaris diraih.
"Anda tidak bisa membayar dengan ini, Nona!"
Suara Jaime menunda kepergian Annelyn. Sosoknya menoleh, "Karena itu uang asing?" tidak mendapat jawaban dari Jaime, "Jika itu masalahnya, Dokter bisa pergi ke pertukaran uang di pusat kota."
Jaime turut beranjak dari kursi, mengurai langkah, "Kalau begitu mengapa tidak Nona sendiri yang pergi menukarnya?"
Keheningan meradang, menerjang. Annelyn terbunuh kebisuan begitu lama, sampai akhirnya bicara, "Aku tidak bisa."
lirih.
Jaime, "Mengapa tidak bisa?" terus melangkah lebih dekat menuju Annelyn, hingga mereka berdiri saling menghadap, "Apa ada sesuatu yang Nona takutkan?"
Saling menatap, lekat, "Sesuatu yang membuat Nona memilih bersembunyi, apa ada hal semacam itu?"
[]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.