Asap tipis mengepul ke udara seketika tutup panci dibuka.
Jaime mengaduk sup, menyendok sedikit, mencicipi, dan menoleh pada satu manusia yang duduk di ranjang pasien sana—yang ternyata sedari tadi tidak berhenti menghunuskan pandang padanya.
Klinik ini memang kecil, tapi itu memiliki dapur serbaguna dengan kompor minyak, cukup untuk menyeduh minuman, menanak nasi, dan memasak beberapa hidangan. Kerap Jaime gunakan untuk kepentingan pribadi alias urusan perutnya sendiri.
Namun kali ini, ia gunakan itu untuk kepentingan orang lain.
"Ini! Makanlah!"
Persis sekali.
Nasi dan sup daging ayam ini dihidangkan untuk pasiennya, untuk perempuan yang beberapa menit lalu membuat gaduh klinik—jatuh dan menghantam keras lantai kayu lantaran sepasang tungkaknya tak sanggup menumpu.
Lapar, katanya, sambil meraba perut, di depan dua manusia yang kontan datang menghampiri sedetik usai ia terjatuh tadi. Lalu, Helen, wanita yang sempat datang bersamanya pamit—katanya—untuk membeli makanan, tapi sampai sekarang belum juga kembali.
Tak bersuara. Setelah memandangi hidangan di meja dekat ranjangnya cukup lama, perempuan itu menggerakkan tangan untuk menyentuh ujung sendok, namun ....
Tak!
... bukannya menyapa mangkuk berisi sup, benda logam itu justru terjatuh malang di lantai. Lalu, ia bergerak pelan, hendak mengambil, tapi gerakannya tak jauh lebih cepat dari Jaime yang segera memungut dan mengambilkan sendok lain.
Urung, Jaime yang hendak menyerahkan pada tangan kurus itu berujung mengajukan tanya, "Haruskah saya membantu?"
Tanpa menunggu jawaban, Jaime menarik sendok lalu menarik pula sebuah kursi. Duduk, berinisiatif menyuapi.
Namun, ketika nasi dan sup telah disendok lalu didorong pelan, mulut di depan Jaime justru terkatup rapat.
Cukup lama, sampai akhirnya sang pemilik mulut membuka pelan-pelan mulutnya, meniup asap yang mengepul dari makanan di atas sendok yang Jaime suguhkan, sama pelan.
Jaime rasanya agak frustrasi.
Tangannya pegal.
Selain itu, sepanjang meniup perempuan ini kerap meliriknya terang-terangan. Mata mereka kerap beradu sehingga bukan hanya pegal, tangan Jaime juga mulai nampak sedikit gemetar.
Kalau saja, perempuan ini tidak segera melahap, mungkin Jaime akan menjatuhkan sendok dari genggaman serta membuat makanan berceceran di lantai.
Maka, apa boleh buat, meskipun di dalam medis, tindakan ini tidak dibenarkan, Jaime memutuskan untuk meniup sebelum menyuapkan.
Habis makanan, terbitlah teh hangat. Jaime tidak melihat kekuatan pada tangan kurus itu sehingga inisiatifnya menjarah terlalu banyak. Pun, perempuan ini tak menolak.
Helen tidak kunjung kembali bahkan sampai hari nyaris menjemput petang. Dan, sepanjang itu, perempuan ini hanya berbaring atau kadang duduk di ranjang pasien klinik Jaime, menonton Jaime bekerja menangani pasien-pasiennya.
Jam kerja telah selesai. Klinik telah tutup.
"Haruskah saya mengantar Anda, Nona?"
Berdua kini berdiri di secuil beranda. Menoleh, perempuan itu bersuara, "Dokter tahu jalan menuju rumahku? Aku tidak ingat."
Jujur saja, Jaime juga tidak tahu. Ia bergeming, menggigit bibir bagian dalamnya pelan, berpikir hingga muncul satu ide, "Tunggu di sini!"
Membuka lagi kayu pengunci kliniknya lalu bergegas masuk, membuka loker, mengambil buku pasien, menyisir satu per satu nama pasien yang pernah datang kemari, sambil bergumam, "Helen ... Helen ... Helen ... Yap! Ini dia alamatnya!"
Tersenyum tipis. Melenggang keluar dari klinik. Menghampiri perempuan yang benar-benar menunggu di luar sana.
Dengan penuh percaya diri, Jaime nyalakan api lentera dalam genggaman. "Ayo kuantar pulang! Aku tahu jalannya."
[]
***
notes:
cung yang dapat notif? wkwkwk
wattpad kadang-kadang ente memang :')
sebel :')btw, terima kasih banyak sudah baca mwehehe
wop yuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
DESPEDIDA
FanficPagi itu, klinik kecil milik Jaime kedatangan seorang pasien; perempuan dari negeri seberang yang membuatnya penasaran.