Bab 26 Cerai?

476 15 3
                                    

Malam itu, Paul dan Salma berada di kamar mereka. Paul sedang bermain dengan tablet, sementara Salma masih teringat ucapan omah Paul yang membuatnya merasa tidak nyaman. Suasana awalnya tenang, namun tiba-tiba berubah ketika Salma mulai berbicara tentang kekhawatirannya.

Salma: Dengan suara pelan "Mas, aku mikir terus soal ucapan omah tadi siang."

Paul: Menoleh dari tablet "Sayang, jangan dipikirin lagi. Itu cuma candaan yang nggak tepat."

Salma: "Tapi, Mas... gimana kalau memang aku nggak bisa kasih kamu keturunan? Kamu nggak akan pernah bisa punya anak dari aku."

Paul: Kaget dan ingin marah "Sayang, jangan ngomong gitu. Kita belum tau apa-apa soal itu."

Salma: Menahan air mata "Mas, kalau kamu memang mau nikah lagi dan punya anak, tolong ceraikan aku dulu. Aku nggak bisa lihat kamu kecewa."

Paul: "Apa?! Salma, kamu ngomong apa sih?! Aku nggak pernah mikir kayak gitu!"

Salma: Menangis "Mas, aku nggak mau jadi beban buat kamu. Kalau memang kamu mau nikah lagi, bilang aja."

Paul: "Sayang, dengerin aku. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Kita bisa cari solusi bareng."

Salma: "Nggak, Mas. Aku udah mikir panjang. Aku nggak bisa kasih kamu keturunan, jadi mending kita cerai aja."

Paul: "sayang , tolong jangan ngomong kayak gitu! Aku nggak mau cerai. Aku mau kamu!"

Salma: Tidak bisa menahan tangisnya dan langsung pergi tidur, membelakangi Paul

Paul: "Sayang, tolong dengerin aku. Kita belum selesai bicara."

Salma: Diam tanpa menanggapi, tertidur dengan air mata masih mengalir

Paul: Memandang Salma dengan perasaan campur aduk "Sayang, aku cinta kamu. Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama."

Malam itu, Paul merasa cemas dan bingung dengan perasaan Salma. Dia tahu bahwa dia harus berusaha lebih keras untuk meyakinkan Salma bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala halangan, termasuk masalah keturunan. Dengan penuh tekad, Paul berjanji dalam hati bahwa dia akan terus mendukung dan mencintai Salma apapun yang terjadi.
________
Paul terbangun di pagi hari dengan perasaan berat. Dia segera menyadari bahwa Salma sudah tidak ada di rumah. Salma telah berangkat ke kampus lebih awal, tapi sebagai istri yang perhatian, dia tidak lupa menyiapkan semua perlengkapan Paul untuk ke kantor. Namun, Paul tidak bisa menghilangkan bayangan kejadian semalam dari pikirannya.
Paul melihat ke sekeliling kamar dan merasakan kehampaan. Tas kerja dan sarapan telah disiapkan dengan rapi oleh Salma, namun Paul merasa kosong tanpa kehadirannya. Mengingat kata-kata Salma semalam, air mata mulai mengalir dari matanya.

Paul: Mengusap wajah dengan tangan gemetar "Sayang... kenapa kamu ngomong gitu? Aku nggak bisa tanpa kamu."

Paul: Menangis "Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Sayang."

Paul: Menatap sarapan yang disiapkan Salma "Kamu selalu perhatian, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama cinta kita?"

Paul: Mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Salma, tapi tidak dijawab "Sayang, tolong angkat teleponnya..."

Paul merasa kehilangan semangat untuk pergi ke kantor. Dia memutuskan untuk tidak berangkat kerja dan menunggu Salma pulang. Paul duduk di ruang tamu, memandangi pintu dengan harapan Salma segera kembali.

Paul: Berbicara pada dirinya sendiri "Aku harus bikin Salma ngerti kalau aku cinta dia apapun yang terjadi. Dia adalah segalanya buat aku."

Paul: Mengusap air mata "Aku harus sabar nunggu dia pulang. Aku akan bicara baik-baik sama dia, jelasin semuanya."

Paul menunggu dengan cemas dan penuh harap. Dia tahu bahwa ini adalah ujian besar bagi hubungan mereka, dan dia siap melakukan apa saja untuk memastikan Salma merasa dicintai dan dihargai. Dengan penuh tekad, Paul berjanji untuk tidak menyerah dan terus berjuang demi cinta mereka.

CINTA DI ANTARA AMBISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang