Sorakan Resah

1.8K 124 4
                                    

Hai🔥

Maaf agak lama update, hehe.

Jangan lupa pencet bintangnya⭐

Selamat membaca🤍

•••••

"Ini, Den."

Elang mengerutkan dahinya saat melihat Abian menyerahkan helm padanya di garasi.

"Lo ngga sekolah?" tanyanya heran sambil menerima helm yang diulurkan Abian. Pasalnya, Abian sudah terlihat lebih baik dari kemarin. Tapi anak itu belum memakai baju seragamnya. Apa Abian menjadi pemalas sekarang?

"Ngga diizinin tuan Atmadja, Den," jujurnya, semakin membuat Elang tak mengerti.

"Kenapa bokap gue ngga ngasih izin? Mulai peduli dia sama keadaan lo?" tanya Elang dengan sedikit sarkas. Ia sungguh tak mengerti apa yang Atmadja rencanakan.

Abian menggeleng. "Kurang tau, Den. Katanya untuk hari ini tuan Atmadja pengen bicara," jelas Abian.

Sejujurnya, dari dalam hati Abian yang paling dalam, terlintas rasa takut dan khawatir akan nasib dirinya hari ini.

Sekarang, tepat tanggal 12 September.

Hari ini adalah hari kelahiran manusia yang paling Atmadja inginkan untuk mati, dan malangnya, manusia yang dimaksud itu adalah... Abian Atharrazka sendiri.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, keadaan Abian tak pernah baik-baik saja setiap tanggal itu datang. Atmadja, selalu melukis jejak kebencian di tubuh Abian berkali-kali lipat dari biasanya.

Melihat Elang yang memilih untuk memakai motor besarnya menuju sekolah, Abian langsung saja mengatakan, "Hati-hati, Den."

Tak ada jawaban apapun yang diterima Abian. Hanya ada suara bisingnya knalpot motor yang tak lama terdengar jauh saat sang empunya semakin memutar stangnya guna melesat laju.

Abian sendiri sekarang. Ia belum beranjak pergi dari garasi tersebut. Dipandangnya 4 jenis motor milik Elang, karena tempat ini, adalah tempat Elang menaruh koleksi motor-motornya.

Elang tak akan membiarkan ada lecet di motornya barang sedikitpun. Lelaki itu sensitif jika mengenai hal-hal yang ia sukai. Abian sangat memakluminya. Apalagi harga motor-motor tersebut tidak murah.

Abian tersenyum. Kakak tirinya hidup dengan bahagia. Seharusnya, Elang juga mempunyai keluarga yang lengkap. Mempunyai kedua orang tua yang mengisi cerita hidupnya dengan tinta penuh sukacita. Tanpa ada cacat sama sekali.

Iya, seharusnya.

Lagi dan lagi, entah untuk ke berapa kalinya, Abian merasa bersalah pada Elang. Abian benar-benar perusak keluarga Gutama.

Tuhan, Abian minta maaf.

Hatinya getir. Kesendiriannya sekarang mendekapnya dengan sendu. Diserang rasa bersalah yang tak akan berhenti, walau raganya mati suatu saat nanti.

Kakinya melangkah maju untuk menutup pintu garasi berwarna coklat tua. Menyudahi kegundahan hati sekaligus menguatkan diri untuk semua yang akan Abian lalui hari ini.

Abian yakin, sedikit lagi, akan ada hal buruk yang terjadi.

••••

Bi Leni menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas siang. Pekerjaannya telah selesai, dan ia bisa bernapas sedikit lega untuk makan siang bersama Abian.

Sudut Luka Atharrazka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang