Jeritan Luka

2.2K 135 10
                                    

Vote untuk mendukung karya ini🔥

Sorry kalo ada typo2 ya.

Selamat membaca🧡

••••


Hukuman yang diberikan nyonya Gutama semalam diketahui oleh bi Leni karena mba Asri yang memberitahunya. Semalam Abian dimarahi oleh mba Asri dan juga mendapat tatapan benci dari banyak pekerja di sana.

Mereka malu, merasa Abian tidak becus dalam bekerja apalagi saat ini rumah itu sedang kedatangan wanita yang sangat dihormati oleh tuan Atmadja.

Tapi karena itu juga, bi Leni melebihkan uang saku Abian pagi ini. Ia menyuruh Abian untuk membeli stok makanan agar anak itu tak kelaparan sampai malam.

Di rumah besar tuan Atmadja terdapat banyak CCTV, jadi Abian benar-benar tidak bisa mendapat makan di sana. Belum lagi para pekerja lainnya yang memang tak pernah menyukai Abian, hanya bi Leni saja yang mengulurkan tangan untuk menjadi keluarganya.

Sekarang, Abian berada di depan kelasnya untuk melihat ke arah lapangan bawah. Kedua telapak tangannya menyentuh besi panjang di atas tembok pembatas.

Cuaca kini terasa sangat sejuk. Awan hitam perlahan mendominasi dengan angin yang berbisik lebih banyak dari biasanya.

Abian menikmatinya. Angin itu menerpa kulitnya hingga terasa dingin. Rambut hitam tebalnya bergerak tak tentu arah, menyambut sepoian yang memberi kedamaian bagi sebagian manusia.

Matanya memperhatikan satu-persatu manusia sedang berjalan di lapangan untuk masuk ke kelasnya masing-masing. Merasa aneh, karena sedari tadi ia tidak menemui keberadaan Elang.

Tidak mungkin jika lelaki itu tidak masuk. Abian melihat sendiri Elang sudah siap dengan seragam sekolahnya tadi di meja makan. Tentu saja ia tahu, karena dirinya sendiri yang mengantarkan sarapan.

Abian mengalihkan pikirannya, mungkin saja Elang telat karena suatu alasan.

Setelah berkutat dengan pikirannya, ia berdiri tegap dan melangkahkan kakinya untuk berjalan ke lantai paling atas di sekolah ini. Menuju ke tempat di mana ia bisa melihat jalan raya, dan juga pedagang pinggir jalan di dekat sekolahnya yang bisa terlihat dari sudut sana.

Abian sampai ke rooftop dan menyunggingkan senyum saat memperhatikan kegiatan para manusia yang terlihat jelas dari posisinya berdiri sekarang.

Kendaraan yang melaju cepat di jalan raya entah ke mana tujuannya, para pedagang yang sigap melayani pembeli, juga manusia lainnya yang seakan menyerah untuk berusaha dan berakhir menjadi peminta-minta.

Melihat itu, membuat Abian menyadari sesuatu bahwa, semua orang sibuk dan semua orang mempunyai masalahnya masing-masing. Jadi, tak ada yang benar-benar baik-baik saja di dunia ini.

"Ngapain lo ke tempat ini?!" sentakan itu membuyarkan pikiran Abian sehingga ia reflek berbalik badan ke arah sumber suara.

Ternyata, orang itu adalah Aland yang baru saja datang ke sini. Kali ini dia seorang diri, tak bersama dua pengikut setianya.

"Cuman liat-liat pemandangan, Kak," jujur Abian.

Aland berjalan ke arahnya. "Cuman liat-liat doang?" tanyanya.

Abian hendak menjawab, tapi lelaki itu sudah lebih dulu memotong dengan berkata, "Lo ngga mau nyobain jadi pelaku bunuh diri dengan loncat dari rooftop gedung sekolah ini?"

Abian diam. Bukan diam karena takut pada pertanyaan Elang, melainkan karena isi dari pertanyaan itu mengingatkannya akan sesuatu.

"Loncat saja dari lantai atas rumah ini, dengan begitu kamu bisa bertemu dengan tukang selingkuh itu."

Sudut Luka Atharrazka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang