Tuhan Tidak Sudi?

2.6K 173 30
                                    

Baru bisa update✌🏻

Jangan lupa pencet bintangnya⭐

Selamat membaca🤍

••••

Tetesan air mata tak kuasa ditahan oleh seorang wanita yang sudah dipenuhi pilu kala melihat remaja laki-laki di depannya tak menggubris apapun sedari tadi.

Bi Leni, menatap Abian yang sedang bersandar di brankar rumah sakit dengan perasaan hancur. Tidak, bahkan hancur saja sepertinya tidak cukup untuk mendeskripsikan bagaimana keadaan bi Leni saat ini.

Abian, dengan tatapan kosongnya hanya menatap lurus ke depan, seolah tak ada siapapun di sana. Wajahnya pucat, rona merah di bibirnya perlahan menghilang, serta kedua matanya sembab.

Lelaki itu, seperti menangis dalam diam. Tak ada air mata yang keluar. Hanya ada suara napas tenang tanpa pergerakan apapun dari fisiknya.

Jiwanya berdarah. Ia terluka hebat, dan tak ada obat untuk meringankannya.

Kepingan sakitnya sudah tak kasat untuk dibentuk kembali. Ombak kehancuran menerjangnya. Menenggelamkan seluruh jiwa dan raganya dalam leburan rasa sakit.

Mba Asri juga berada di sana. Ia membenci Abian, tapi saat ini hatinya ikut sesak. Tak terpikirkan sama sekali di otaknya jika Atmadja akan bertindak sekeji ini.

Abian, hanya seorang remaja yang seharusnya memiliki banyak teman untuk sekedar kumpul bersama, bukan selalu dipaksa menikmati luka.

Tak ada sahutan apapun. Hanya ada suara tangis bi Leni di ruangan tersebut. Bukan hanya bi Leni yang menangis, tapi mba Asri juga. Bedanya, wanita itu terus menahan suara tangisnya.

Kehancuran berhembus memenuhi setiap sudut dan sisi ruangan. Mengelilingi segala rasa sakit dari yang terluka, dan para saksinya.

Mba Asri mencoba untuk tenang sedikit. Perlahan, ia mencoba untuk membuka suara.

"Abian—"

"Jari Abian dipotong..."

Lirihan tersebut lebih dulu keluar sebelum mba Asri menyelesaikan ucapannya. Suara Abian membuat dadanya semakin terhimpit dan gagal untuk tidak mengeluarkan isak tangis. Apalagi melihat Abian yang masih tetap menatap kosong ke depan, berhasil mengguncang hebat hatinya untuk semakin menyelami lautan kesenduan.

"Mereka potong jari Abian..."

Tak kuat mendengar lirihan tersebut lebih lama lagi, bi Leni langsung menghamburkan peluk dengan gema tangis yang terdengar getar.

Wanita itu tak kuat mengucapkan kalimat apapun. Dirinya merasa bersalah. Seharusnya ia mengingat selalu tanggal Abian dilahirkan. Seharusnya ia tidak membiarkan Abian pergi ke ruangan milik Atmadja sendirian.

Andai saja ia tidak lupa, mungkin dirinya yang saat ini terluka oleh Atmadja. Bukan Abian, karena ia akan dengan senang hati menggantikan posisi Abian meski Atmadja akan mengamuk besar.

Tapi sayang, harapan itu juga yang bi Leni tanamkan di setiap hari kelahiran Abian. Ia selalu gagal menggantikan posisi Abian, karena Atmadja dan semua orang yang tunduk padanya, akan selalu menggugurkan rencana siapapun untuk menolong Abian.

Jerit tangis Abian akhirnya terdengar. Rasa sakitnya tertumpah melalui suara tangisnya. Mentalnya terkoyak habis. Keputusasaan terus berbisik, menyambut baik seluruh raga yang terlanjur merasa lelah.

Bi Leni semakin mendekap. Tak ingin melepaskan sama sekali pelukan hangatnya untuk Abian. Begitu pun mba Asri yang mendekat untuk mengusap lembut punggung remaja itu.

Sudut Luka Atharrazka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang